Pekerja Migran
Memanasnya situasi Selat memberikan dampak tersendiri bagi kondusivitas di kawasan meskipun tidak secara langsung. Provokasi dua kekuatan militer di Selat semakin sering terjadi seiring dengan munculnya krisis di Ukraina, Afghanistan, dan baru-baru ini di Gaza.
Pemerintahan Lai-Hsiao yang dekat dengan Amerika Serikat sudah barang tentu akan terus memicu meningkatkan sentimen dari Beijing. Mereka dipastikan akan melanjutkan program-program kerja dan pola kepemimpinan Tsai dalam delapan tahun terakhir.
Pengadaan senjata Taiwan dari Amerika Serikat diperkirakan juga akan menghambat terciptanya stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan yang telah lama diikhtiarkan oleh ASEAN.
Sebagai negara besar di kawasan, Indonesia sangat berkepentingan dengan situasi yang kondusif di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Meskipun bukan negara yang terlibat sengketa wilayah di Laut China Selatan, Indonesia telah lama memperjuangkan terciptanya stabilitas dan perdamaian itu.
Hubungan Indonesia-Taiwan tergolong unik karena kedua belah pihak tidak diikat oleh perjanjian diplomatik sebagaimana prinsip Kebijakan Satu China yang telah lama dijunjung oleh pemerintah Indonesia.
Nilai perdagangan Indonesia dengan Taiwan tidak sesignifikan dengan China. Dengan Taiwan, nilai perdagangan Indonesia tercatat sebesar 14 miliar dolar AS pada 2022. Tertinggal jauh dibandingkan dengan nilai perdagangan Indonesia-China yang pada bulan Oktober 2022 mencapai 122,47 miliar dolar AS.
Demikian pula dengan investasi di Indonesia, selama periode tersebut Taiwan hanya menyumbangkan 900 juta dolar AS. Sementara China telah mencapai 8,22 miliar dolar AS sepanjang tahun 2022.
Namun dalam bidang ketenagakerjaan, Taiwan sangat menonjol. Data Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei bahwa per September 2023 tercatat 267.194 pekerja migran Indonesia (PMI) bekerja secara resmi di sektor formal dan informal di Taiwan.
Taiwan menjadi penyumbang remitansi terbesar ketiga dari kantong para PMI. Pada semester I/2022, PMI Taiwan telah mengirimkan uang hasil upah kerja mereka kepada keluarganya di kampung halamannya di berbagai daerah di Indonesia mencapai 712,82 juta dolar AS.
Posisi Taiwan sebagai penyumbang remitansi dari PMI selama periode tersebut berada di bawah Arab Saudi dan Malaysia, masing-masing sebesar 1,41 miliar dolar AS dan 1,27 miliar dolar AS.
Dari segi jumlah, pekerja asing asal Indonesia di kepulauan berpenduduk 23,5 juta jiwa itu mendominasi. Pekerja migran asal Indonesia sangat difavoritkan oleh warga kepulauan karena karakteristik yang telaten, penyabar, dan tidak banyak tuntutan dibandingkan dengan para pekerja dari Thailand dan Filipina.
Oleh sebab itu, gertakan pemerintahan Tsai Ing-wen dua atau tiga tahun lalu yang akan memoratorium pekerja migran asal Indonesia tidak mempan sama sekali karena rakyatnya sebagai pengguna atau majikan sangat membutuhkan pekerja dari Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.
Pemerintahan Taiwan yang baru, Lai dan Hsiao, yang bakal meneruskan rezim DPP pada empat tahun mendatang diperkirakan tidak akan mengambil tindakan konyol seperti yang dilakukan oleh pendahulunya, Tsai.
Bahkan apa pun yang terjadi dengan hasil Pemilu Presiden 2024 nanti, rezim DPP Taiwan dipastikan tidak akan mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia, apalagi Tsai di awal pemerintahannya dulu pada 2016 telah mencanangkan kebijakan yang mengarah ke selatan atau "Southbound Policy".
Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik atau Government to Government, ada beberapa faktor penting bagi Taiwan untuk meningkatkan kemitraan dengan Indonesia. Pertama, hubungan antar-masyarakat atau People to People Exchange antar-kedua belah pihak dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan.