Harapan Bangsa
Menurut Yenny, setiap anak di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, harus menjadi harapan bangsa dan mengubah keadaan yang lebih baik di kemudian hari. Untuk mewujudkan cita-cita besar itu, mereka harus mendapatkan makanan yang bergizi layaknya anak-anak di belahan lain.
Di awal merintis gerakan atau program Sebutir Telur, dia bersama rekan-rekannya menelusuri perkampungan di Distrik Agats untuk mencari anak yang kurang gizi.
Perjuangan mulia tersebut bukan tanpa tantangan. Yenny berusaha untuk meyakinkan para orang tua bahwa anak-anak mereka harus mendapatkan gizi tambahan lewat sebutir telur ayam, serta beberapa makanan tambahan lain yang diberikan negara lewat Kementerian Sosial, sumbangan pribadi hingga donasi dari berbagai instansi.
Para orang tua di Distrik Agats menyambut positif gerakan ini. Namun, mereka tidak mau begitu saja melepaskan anak-anaknya pergi ke Keuskupan Agats tanpa pengawasan. Mama dan Papa (sebutan orang tua di Papua) tetap menemani anak-anaknya setiap sore pergi ke Keuskupan Agats untuk memastikan bahwa anak mereka memang mendapatkan sebutir telur seperti yang dijanjikan.
Selang beberapa waktu mengikuti Program Sebutir Telur, beberapa orang tua mulai kelelahan karena harus bolak-balik mengantarkan anaknya pergi ke keuskupan. Tidak ingin hal itu menjadi hambatan yang bisa memutus upaya memperbaiki gizi, Keuskupan dan KMKI memutuskan untuk menjemput langsung anak-anak di lokasi yang telah ditentukan.
Anak-anak tersebut diangkut menggunakan becak motor milik keuskupan agar mereka tetap mengikuti program yang telah dirintis. Penjemputan dilakukan setiap sorenya sekitar pukul 16.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), dan kembali diantarkan ke tempat semula.
Hingga kini KMKI dan Keuskupan Agats tidak membatasi kuota anak yang ingin mengikuti Program Sebutir Telur. Tak jarang dalam sehari jumlahnya terkadang bisa mencapai 60 anak. Artinya, KMKI dan keuskupan harus merebus dan menghidangkan 60 butir telur ayam.Setibanya di Keuskupan Agats, anak-anak yang turun dari becak motor langsung diajak menuju wastafel untuk mencuci tangan. Hal ini merupakan aktivitas rutin dan wajib yang mesti dilakukan setiap anak ketika tiba di keuskupan.
Selain mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan, keuskupan dan KMKI juga mendidik anak-anak di Asmat untuk membiasakan diri antre dan tertib. Meski terlihat sederhana, namun kebiasaan antre mencuci tangan di wastafel merupakan salah satu pendidikan karakter yang akan berguna bagi mereka di kemudian hari.
Setelah mencuci tangan, anak-anak dikumpulkan di sebuah aula untuk doa bersama sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta atas keberkahan yang diberikan sebelum menikmati telur ayam yang sudah direbus.
Jika stok telur ayam, susu, biskuit dan makanan tambahan lainnya berlebih maka keuskupan akan membagikan kepada anak-anak usia di atas tujuh tahun, termasuk bagi ibu hamil. Hanya saja, program ini diprioritaskan kepada anak usia satu hingga lima tahun mengingat keterbatasannya.
Tidak hanya memerhatikan aspek gizi, anak-anak juga diedukasi untuk mengenal lagu-lagu nasional. Hal ini merupakan upaya sedari dini untuk menanamkan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yenny yang juga Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Perpetua Safanpo itu menjelaskan, Program Sebutir Telur bukan untuk pencegahan stunting atau tengkes. Pemberian telur ayam yang kaya akan protein serta makanan tambahan lainnya lebih kepada upaya memperbaiki gizi anak.
Sementara, penanganan stunting maka penanganannya sudah harus dilakukan sejak 1.000 hari pertama kehidupan atau saat janin masih di dalam kandungan.
Program Sebutir Telur meski digagas Keuskupan Agats dan KMKI, namun program ini juga untuk anak-anak beragama Islam atau pendatang. Upaya memperbaiki gizi tidak berkaitan sama sekali dengan perbedaan agama atau suku. Sebab, keuskupan bersama KMKI berpandangan untuk menjadikan anak-anak di Kabupaten Asmat yang sehat dan cerdas, tidak dilihat dari perbedaan namun rasa kebinekaan dan kemanusiaan yang diutamakan.
Ketahanan Pangan