Melalui pelatihan tersebut, Agus merasa bahwa BUMN tersebut telah mengajak warga Kampung Keberagaman untuk santun, tidak hanya terhadap sesama, tetapi juga terhadap alam dan lingkungan.
Oleh karena itu, motif yang diangkat untuk Batik Proklim tidaklah keluar dari pagar-pagar kecintaan masyarakat terhadap lingkungannya.
“Jika santun dan saleh terhadap lingkungan, niscaya tidak ada radikalisme,” tutur Agus.
Tidak hanya ditunjukkan melalui sketsa yang bertemakan lingkungan, tinta yang digunakan untuk membatik juga berasal dari bahan-bahan yang ramah lingkungan dan mudah digunakan.
Batik Proklim menggunakan bahan batik lem. Adapun lem yang digunakan terbuat dari komposisi tepung tapioka, terigu, kopi, lalu direbus dengan air. Dengan demikian, membatik ini pun menjadi lebih aman apabila dibandingkan dengan bahan batik yang harus dipanaskan.
Siti Hapsah, salah seorang pembatik, mulanya menceritakan pengalaman latihan membatiknya dengan malu-malu. Ibu rumah tangga ini mengaku, pada awal pelatihan, ia merasa kesulitan menggambar. Terkadang, sketsa manusia yang ia gambar memiliki tangan yang besar sebelah atau jari yang tidak beraturan.
Nurunisa, yang kala itu berdiri di sisi Siti, turut menimpali dan membenarkan cerita Siti. Nurunisa, yang juga pembatik, menceritakan bahwa mereka dilatih untuk menggambar di atas kertas terlebih dahulu, sebelum pindah ke kain.
Yang menjadi unik adalah ketika Sri Sulasti turut menyahut dan mengungkapkan bahwasanya, pada suatu waktu, mereka dibagi menjadi sejumlah kelompok beranggotakan empat orang.
Masing-masing anggota dalam kelompok tersebut diberi tugas membuat sketsa bertema lingkungan, yang nantinya akan disatukan untuk menjadi gambar kelompok.
“Itu gambarnya karya sendiri-sendiri, lalu disatukan. Untuk nyambung idenya, jadi bercerita (sketsanya),” kata Sulasti dengan semangat menggebu-gebu.
Usai tenggelam dalam nostalgianya, Sulasti mengatakan bahwa saat ini mereka sedang mencoba untuk berproduksi. Para pembatik ini sudah mulai menghasilkan sejumlah karya, seperti taplak meja dengan ragam ukuran hingga seragam.
Batik Proklim ini dijual dengan kisaran harga terjangkau bagi banyak orang, tergantung tingkat kesulitan dan panjang kainnya.
Mereka sudah sempat menerima pesanan dari Dinas Lingkungan Hidup setempat berupa pembuatan seragam. Akan tetapi, pembuatan seragam tersebut memakan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 2—3 bulan.
Pengembangan Program
Agus mengatakan bahwa durasi pembuatan seragam yang panjang diakibatkan oleh minimnya pembatik di Kampung Keberagaman ini. Agus mengatakan saat ini hanya terdapat 17 orang yang terdiri atas 15 orang pembatik, seorang mentor, dan seorang penanggung jawab.Hal inilah yang mengakibatkan mereka terseok-seok dalam menyelesaikan permintaan. Bahkan, para pembatik belum bisa menerima pesanan yang datang dari berbagai instansi lantaran tak ingin memberi hasil yang kurang maksimal akibat kewalahan saat mengerjakan.Ia berharap dapat segera menambah personel guna mengakselerasi produksi Batik Proklim ini. Agus pun tak menampik kemungkinan hadirnya sentuhan teknologi agar dapat membantu para pembatik bekerja.
Agus melambungkan harapannya agar generasi muda di wilayah tersebut dapat turut memberikan inovasi dan membantu pemasaran Batik Proklim di berbagai platform e-commerce, dengan catatan setelah Batik Proklim ini sudah mampu berproduksi dengan ideal.