Oleh: Dahlan Iskan
JAMBIEKSPRES.CO - "Tolong minta tempat duduk di tengah".
Itulah pilihan saya kalau naik bus. Bukan di depan, yang posisi tempat duduknya di depan roda atau di atas roda.
Saya perlu posisi yang lebih stabil: ingin banyak membaca dan menulis. Tidak mudah pusing. Posisi tengah lebih stabil: antara roda depan dan roda belakang.
Yang saya hindari total adalah duduk di kursi belakang. Apalagi paling belakang. Posisi kursinya di belakang roda. Bisa terbang saat membaca: termasuk huruf-hurufnya.
"Jangan paling belakang," kata saya setelah tahu bagian tengahnya pun sudah penuh. Saya sudah tua. Anak muda yang banyak pilih duduk di belakang. Apalagi yang lagi pacaran.
Ampun. Ini perjalanan panjang: 12 jam. Dari Madinah ke Riyadh. Kenapa tidak bisa duduk yang sesuai dengan kursi pilihan.
BACA JUGA:31.990 Siswa Ikuti SNPDB Madrasah Unggulan se-Indonesia
BACA JUGA:Kementerian ESDM Catat Pengembangan PLTS Atap Capai 140 MW
"Bus penuh. Yang ada tinggal satu kursi. Anda pembeli tiket terakhir".
Ampun. Itu pasti tempat duduk yang paling dihindari semua penumpang bus: paling belakang, paling pojok.
Apa boleh buat. Pasrah. Tawakal. Sudah takdirnya begitu. Move on.
Saya lihat lembaran tiket: kursi nomor 49.
Mungkin ini hukuman bagi prangko yang melepaskan diri dari amplopnya. Si prangko ingin ke Riyadh untuk kali pertama. Jalan darat. Si amplop ditinggal di Madinah. Amplop itu akan dikirim lewat pos ke Makkah: travel Bakkah. Bersama amplop-amplop yang lain.
Percayalah si prangko akan tetap mencari amplopnya: pada saatnya.