Lalu terlihat bus keluar dari jalan raya. Saya tidak tahu itu di mana. Tidak ada jendela. Buraydah masih agak jauh –meski terlihat dekat di peta. Saya intip dari jendela penumpang depan: ini masih padang pasir. Ini seperti rest area. Rest area pertama setelah perjalanan enam jam.
Ada pompa bensin. Ada kios-kios. Masjid. Toilet. Beberapa bus yang berhenti. Sedikit mobil kecil.
Semua penumpang turun. Saya mulai ragu: ternyata bus ini berhenti di sini. Bukan di Buraydah. Logika normal saya salah: bus akan berhenti di kota besar berikutnya. Saya terlalu sering naik bus Greyhound di Amerika. Logika bus saya terbentuk dari situ. Atau dari sejak kecil di negeri sendiri.
Di sini ternyata bus berhenti di rest area.
Jangan ragu! Pantang mundur!
Tetap harus turun di sini!
Bahwa dari rest area akan naik apa ke Buraydah diatur belakangan. Di mana ada kemauan di situ ada kemungkinan.
Saya pun mencari kernet: harus ambil tas kecil saya di bagasi.
Ternyata tidak mudah. Saya tidak diizinkan turun di situ. Tiket saya ke Riyadh.
Tapi saya lihat wajah ragu di kepala kernet. Maka saya jelaskan: saya tidak minta uang pengurangan harga, saya tidak akan minta ia menanggung biaya kendaraan saya ke Buraydah. Semua tanggung jawab saya sendiri.
Saya dibawa ke kantor bus itu. Panjang perdebatan mereka soal saya. Saya tangkap sekilas: bagaimana bisa keluar dari padang pasir ini.
Seperti setengah putus asa kernet lalu membawa saya ke arah bus berhenti. Lama memandang wajah saya. Lalu keluar kata-kata pemungkasnya: beri saya 20 real, untuk makan.
Saya pun berterima kasih atas kebaikannya. Lalu dibukalah bagasi. Saya ambil tas merah kecil itu.
"Hanya itu?" tanyanya.
Isinya hanya dua lembar kain ihram dan dua potong baju dalam.
Ini musim dingin. Tidak berkeringat. Cucian pun lima jam ditinggal tidur sudah kering. Bibir saja terasa kering, apalagi hanya pakaian dalam.