Di rest area itu saya duduk di depan musala. Atur strategi. Matahari menyentrongkan sinar terkuatnya. Langit seperti berdebu. Hati pun galau: bagaimana bisa keluar dari sini. Saya tidak punya apps taksi Saudi. Coba saya masih muda mungkin lebih pintar menggunakan segala cara yang ada di HP.
Saya raba dompet. Masih ada. Berarti ada uang. Rasanya itu senjata terbaik saat itu. Rasanya si amplop tadi memasukkan beberapa lembar uang real ke dompet. Termasuk beberapa lembar @200 real. Baru tahu. Saya kira nominal tertinggi itu lembar 100 real.
"Akan selalu ada orang baik di mana pun".
Di samping banyak juga yang tidak baik.
Saya tanya beberapa hati di situ. Semua pendatang. Saya belum mau menggunakan senjata terakhir. Toh saya belum seperti Didi Kempot: bertanya sampai ke 1000 hati. Sampai kelelahan dan meninggal dunia.
Saya lihat di rest area ini ada bengkel mobil. Sepi. Beberapa montirnya duduk di lantai semen: makan bersama. Saya tunggu mereka selesai makan. Saya tidak mau menembak di saat angin belum reda.
Tapi mereka seperti tahu pedalaman hati saya: berdiri lama di depan bengkel itu.
"100 real," katanya.
"Ok," jawab saya.
"Kenapa mahal?" tanya saya ketika mobil sedan Hyundai meninggalkan rest area.
"Buraydah masih lebih 50 km dari sini," jawabnya.
"Bukan itu?" tanya saya menunjuk sekelompok perumahan di kejauhan sana.
"Itu Bukhairiyah," jawabnya.
"Yang sana itu?"
“Itu ~™¿©¢", jawabnya, terdengar tidak jelas di telinga saya.
Ganti ia bertanya: di Buraydah nanti turun di mana.