Menurutnya, kriteria itu sudah disepakati oleh para menteri agama di Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura (MABIMS).
Wilayah yang memenuhi kriteria 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat berada di Benua Amerika, sedangkan Asia Tenggara belum terpenuhi sehingga kemungkinan besar hasil rukyat pada 10 Maret 2024 tidak ada yang berhasil.
Ia menerangkan faktor itulah yang membuat awal Ramadhan di Indonesia jatuh pada 12 Maret 2024.
Namun, ada organisasi masyarakat atau ormas yang menggunakan kriteria berbeda, yakni wujudul hilal.
Pada 10 Maret 2024 di Indonesia, katanya, posisi Bulan sudah di atas ufuk dan sudah positif. Di Jakarta, posisi Bulan tingginya 0,7 derajat dan elongasi sudah di atas ufuk, namun masih kurang dari 6,4 derajat.
Organisasi masyarakat itu lantas memutuskan awal Ramadhan jatuh pada 11 Maret 2024.
“Pemerintah mengumumkan pada sidang isbat, tapi otoritas ormas dan pimpinan ormas sudah mengumumkan lebih dahulu,” ujarnya.
Meski awal Ramadhan berbeda, katanya, tanggal Lebaran ada persamaan, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat.
Pada 9 April 2024, posisi Bulan di wilayah Indonesia sudah cukup tinggi lebih dari 6 derajat dan elongasi sekitar 8 derajat. Faktor itu secara hitung-hitungan sudah memenuhi kriteria MABIMS, yakni minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
“Saat sidang isbat tanggal 9 April 2024 akan diputuskan bahwa Idul Fitri jatuh pada 10 April 2024. Itu sama dengan kriteria wujudul hilal yang sudah dilakukan salah satu ormas, sehingga nanti Idul Fitri akan seragam tanggal 10 April 2024,” kata Thomas.
Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Ismail Fahmi meminta masyarakat untuk menghormati perbedaan dan saling menghargai terkait dengan perhitungan awal Ramadhan tersebut.
“Ramadhan adalah bulan suci agar kita suci, maka kita mengawali dengan hal yang suci, jauhkan kata-kata yang justru membuat kegalauan,” ucap dia. (ant)