Perlu Sosialisasi Masif
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Bintan memang telah meminta pemerintah pusat maupun daerah menyikapi serius penangkapan delapan nelayan dan tiga kapal oleh aparat Kerajaan Malaysia itu karena dugaan melanggar batas wilayah tangkapan ikan.
Menurut Ketua KNTI Kabupaten Bintan Syukur Haryanto, persoalan sama sudah terjadi berulang kali. Karenanya perlu dilakukan langkah pencegahan dan penanganan yang lebih serius pemerintah dengan pemangku kepentingan terkait.
Sejak 2020, beberapa nelayan dari Bintan juga ditangkap aparat penegak hukum Malaysia. Ada yang sempat dipenjara namun ada pula yang langsung dipulangkan saat itu juga.
Syukur berharap pemerintah tidak hanya mengupayakan pemulangan delapan nelayan itu saja, tetapi juga memulangkan semua kapal dan semua alat tangkap milik nelayan. Selama ini semua kapal dan alat tangkap ikan nelayan yang ditangkap selalu disita, padahal itu alat untuk mencari nafkah para nelayan.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi secara masif kepada para nelayan tentang batas laut, sehingga mereka mengetahui secara pasti batas teritorial laut Indonesia dan Malaysia.
Isu kedaulatan memang merupakan salah satu prioritas utama diplomasi Indonesia. Dalam sembilan tahun terakhir, Indonesia telah menyelesaikan enam perjanjian batas wilayah dengan negara-negara tetangganya, termasuk dengan Malaysia.
Terdapat enam perjanjian perbatasan yang telah diselesaikan dan dua di antaranya adalah perjanjian delimitasi batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan Vietnam pada 2021 yang membutuhkan waktu 12 tahun. Selanjutnya, kesepakatan Indonesia dengan Malaysia pada dua segmen batas maritim Laut Sulawesi dan Selat Malaka yang disepakati pada Juni 2023 setelah melalui perundingan panjang selama 18 tahun.
Dengan Malaysia, Indonesia juga telah menyepakati tiga segmen batas darat di Kalimantan dengan Sabah pada 2017-2019.
Kesepakatan yang terbaru, yakni kesepakatan segmen batas darat lainnya, termasuk segmen Sebatik, Senapat-Sesa, dan West Pillar-AA 2 di Kalimantan dan Sabah yang ditargetkan rampung pada 2024 setelah dua negara melalui masa perundingan selama 24 tahun.
Perwakilan RI di Penang juga baru saja membantu dan memberi fasilitas pemulangan empat dari lima nelayan Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara, yang selamat dari kecelakaan di Selat Malaka pada Kamis (16/5) lalu.
Konsul Jenderal RI di Penang, Wanton Saragih, mengatakan empat dari lima nelayan asal Pangkalan Brandan itu pada Senin (27/5) lalu dibantu dan difasilitasi pemulangannya ke tanah air oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Penang melalui Bandar Udara Internasional Pulau Pinang ke Bandar Udara Internasional Kuala Namu.
Sebanyak lima nelayan Pangkalan Brandan mengalami kecelakaan laut saat menangkap ikan di perairan Selat Malaka pada Kamis (16/5) pagi. Perahu yang mereka tumpangi ditabrak kapal kontainer yang tidak dikenal, membuat mereka harus menyelamatkan diri dengan terjun ke laut.
Salah satu nelayan mengatakan, kondisi cuaca saat kejadian buruk dengan kondisi kabut tebal, jarak pandang kurang dari lima meter sehingga menyulitkan lima nelayan tersebut mengetahui adanya kapal mendekat, sedangkan kapal kontainer itu pun tidak mengetahui keberadaan nelayan.
Setelah mengapung-apung 10 jam di laut hanya berpegang pada potongan kayu perahu yang hancur, empat nelayan itunberhasil diselamatkan kapal CMA CGM Rivoli yang sedang melintas dan mengevakuasi keempatnya. Sedangkan seorang nelayan lainnya diselamatkan oleh nelayan lain asal Langkat di titik berbeda.
Empat nelayan yang diselamatkan itu kemudian dievakuasi ke Kapal Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) Perak. Dari empat orang itu satu di antaranya mengalami patah lengan dan luka serius di bagian punggung sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Sri Manjung Perak. Mereka dipulangkan setelah dilakukan pemulihan.