Disesuaikan Dengan Keseharian Masyarakat Suku Bajau yang Nomaden

Senin 01 Jul 2024 - 16:28 WIB
Editor : Adriansyah

Sikola Bajalan untuk Pendidikan Anak Bajau di Wakatobi

Sore itu angin bertiup di pesisir Wakatobi, menambah keseruan anak-anak Suku Bajau belajar membaca dan menulis di salah satu teras rumah warga di Desa Mola Nelayan Bakti, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, bersama dengan satu komunitas sosial.

---

SEKOLAH nonformal di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang terbentuk sejak tahu 2022 merupakan sekolah berjalan yang mengajar anak-anak pesisir menggunakan metode pembelajaran, sesuai dengan keseharian masyarakat Suku Bajau yang nomaden dan berjalan-jalan.

"Jadi, ini sudah memasuki dua tahun terus untuk sekolah berjalan sendiri sejarahnya sebenarnya awal mulanya itu sasaran kami bukan di Bajo tapi di desa-desa yang ada di darat," kata penggagas Sikola Bajalan Agustia, saat berbincang dengan ANTARA.

BACA JUGA:Astrid Terlibat Langsung

BACA JUGA:Pasca PSU, Rekapitulasi tingkat Kecamatan Diambil Alih KPU Batanghari dan Berjalan Lancar

Dipilihnya teras rumah warga untuk mengajar anak-anak Suku Bajau membaca maupun menulis itu dipilih agar dapat menyentuh langsung anak-anak yang mempunyai keinginan untuk belajar bersama.

Jika menggunakan ruangan tertutup, biasanya anak-anak itu tidak akan betah dengan karena bertentangan dengan keseharian mereka yang terbiasa hidup di alam bebas.

Awal dibentuknya Sikola Bajalan itu karena ada kekhawatiran setelah masa pandemi COVID-19, anak-anak tidak bisa membaca dan menulis karena sekolah tidak berjalan secara normal. Selain itu, ada keluhan beberapa orang tua terkait anaknya yang sudah kelas 4, 5, dan 6, yang belum memahami kosakata.

Berangkat dari beberapa masalah tersebut, muncullah niat Agustia untuk membuat sekolah nonformal. Sekolah itu dimulai di Desa Wandokaa, Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Setelah dua pekan berjalan, sekolah itu mulai dikembangkan ke desa-desa lain agar anak-anak yang mengalami permasalahan serupa dapat diatasi dengan metode pembelajaran yang tidak formal.

Agustia mencatat sebenarnya ada beberapa desa yang anak-anaknya mengalami kondisi serupa terkait pendidikan, antara lain Desa Tindoi Timur, Wandokaa, dan Desa Mola.

Desa Mola dipilih karena masih banyak anak-anak di daerah tersebut yang tidak bersekolah, putus sekolah. Dari mereka, banyak yang tidak bisa membaca. Bahkan, setiap pekan ada anak yang keluar dari sekolah, dengan alasan mereka harus ikut orang tuanya pergi mencari ikan di laut daerah lain yang jauh dari tempat tinggal mereka.

Orang Bajau hidupnya nomaden dan di musim-musim tertentu orang tuanya membawa anaknya ke daerah Tomia, untuk memancing dan berlangsung berbulan-bulan atau di musim-musim tertentu mereka akan pergi ke daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan keadaan seperti itu, maka anak-anak tidak masuk ke sekolah. Karena tanpa kabar atau izin, pada akhirnya pihak sekolah menganggap mereka ini sudah berhenti sekolah. Karena itu, ketika mereka pulang sudah tidak melanjutkan lagi sekolahnya.

Seiring berjalannya waktu, sekolah nonformal itu telah mendampingi dua desa, yakni Desa Mola Nelayan Bakti dan Desa Mola Selatan. Dari dua desa itu awalnya ada sekitar 100 anak yang belajar, namun jumlah kemudian berkurang.

Kategori :