“Tongkat dengan gagang berbentuk monyet biasa digunakan Bung Karno saat berjalan-jalan di dalam kota. Tujuannya untuk mengejek Belanda,” tambah Syafruddin.
Pada masa pengasingan, setiap hari Bung Karno harus melapor ke pos militer di Ende Utara.
Adapun tongkat dengan gagang polos digunakan Bung Karno saat ke luar kota dan bertemu dengan masyarakat
Pada tahun 1951--saat menjabat sebagai presiden--Soekarno untuk kali pertama mengunjungi Ende dan menyatakan keinginannya agar rumah pengasingan itu dijadikan museum. Keinginan tersebut baru terwujud dalam kunjungannya yang kedua pada 1954, yang mana rumah tersebut diresmikan sebagai “Rumah Museum”.
Taman Renungan
Tak beberapa jauh dari rumah pengasingan, juga terdapat taman renungan. Bung Karno biasanya berteduh di bawah pohon sukun sambil menggali dasar-dasar negara. Dari bawah pohon sukun bercabang lima tersebut , pengunjung dapat melihat laut yang menghubungkan Pulau Flores dan Pulau Ende.
Tepat di bawah pohon sukun tersebut, terdapat tulisan Bung Karno yakni “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.”
Pohon sukun yang ada saat ini bukan pohon sukun yang asli ketika Soekarno diasingkan. Pohon sukun masa pengasingan Soekarno sudah tumbang sekitar tahun 1960 dan ditanam pohon sukun baru pada 1981.
Untuk mengisi waktu selama masa pengasingan, Bung Karno banyak menulis naskah tonil. Sedikitnya ada 13 naskah sandiwara yang dibuat Bung Karno di Ende, yakni Dokter Setan, Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Kut Kutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.
Setelah diasingkan di Ende selama 4 tahun 9 bulan dan 4 hari, pada 18 Oktober 1938 Soekarno dipindahkan ke Bengkulu. Jejak Soekarno di Ende tak hanya sekadar rumah pengasingan dan taman renungan. Makam mertuanya yakni Ibu Amsi pun berada di Kota Ende. Ibu Amsi meninggal dunia akibat malaria pada 12 Oktober 1935.
Hingga kini, nama Sang Proklamator tak pernah lekang di ingatan masyarakat. Dari masyarakat perkotaan hingga ke pelosok desa di kaki Gunung Kelimutu mengenal nama Soekarno.
Bila tak percaya, tanya saja kepada para pemimpin adat Suku Lio atau Mosalaki di Desa Wologai. Mereka akan dengan bangga membicarakan tentang kunjungan Bung Karno bersama keluarganya ke desa kecil tersebut.
Ende dan Bung Karno menjadi bagian yang tak terpisahkan karena dari sudut kota di sebuah pulau di timur Indonesia itu pula lahir dasar-dasar negara. (ant)