Sangat Singkat dan Padat, Namun Penuh Makna Kontemplasi

TENGSOE MERAH PUTIH: Tengsoe Tjahjono dan Bendera Merah Putih. FOTO: ANTARA/HO-DOK. PRIBADI --

Jika kita menyatakan bahwa bangsa ini sudah merdeka dan kita menjadi bagian di dalamnya, sudah seharusnya sebagai pewaris dan penerus keberlangsungan berbangsa dan bernegara tidak bermalas-malasan untuk berkarya, datang terlambat dan pulang cepat di kantor, terbiasa hidup dan makan dari gaji buta, tumpul hati dari fenomena yang terjadi di sekitarnya, hilang rasa simpati, empati, dan jiwa solidaritas.

Sejujurnya, hasil kontemplasi penyair yang lahir di Jember, Jawa Timur, 3 Oktober 1958, dan pernah menjadi dosen tamu di "Hankuk University of Foreign Studies" (HUFS) Korea Selatan ini, menemukan bahwa dirinya, mungkin juga pada pribadi-pribadi yang lain secara komunal, belum bisa mempraktikkan kemerdekaan itu secara sesungguhnya.

Putiba itu tersaji dengan sangat singkat dan padat, namun penuh makna kontemplasi mendalam untuk menggugah semua pihak untuk terus memperbaiki praktik kemerdekaan sebagai bangsa. Misalnya pada puisi "Tong Sampah". //Buanglah sampah di tempatnya//Koruptor?//Tong-tong tak bisa menampungnya//.

Pada puisi "Kerja Bakti", yaitu; //Got itu tetap kotor//Orang-orang ngopi di gardu jaga//

Membicarakan bendera yang tanggal putihnya//.

Pada puisi "Tikus Got", berbebunyi; //Sebesar kucing//Masuk ke brankas//Makan malam di resto kelas atas//.

Sementara di puisi berjudul "Pot"; //Dari pot itu tumbuh cabe//Pedasnya tumpah di mata//Pengemis tua memamah daunnya//.

Melalui puisi yang ditulisnya di sela-sela aktivitas menularkan ilmu sastra di kampus Universitas Brawijaya, Malang, selepas pensiun dari Unesa, dia tidak ingin "bergenit-genit" dalam euforia kemerdekaan. Dia menuangkan hasil refleksi itu hanya karena tidak ingin terjebak dalam romantisme semu.

Membaca puisi-puisi Tengsoe, kita semua bisa bercermin bahwa ternyata banyak hal yang harus diperbaiki dari sikap kita dalam menjalankan tugas mulia, yaitu "mempraktikkan kemerdekaan" untuk kebaikan bersama.

Bagi Tengsoe, puisi-puisi itu bukan merupakan bagian dari pesta, perayaan, apalagi semacam upacara. Puisi-puisi ini sengaja dia posisikan sebagai cermin tempat dirinya berkaca sebagai bangsa merdeka. Siapa tahu ternyata wajah dia, mungkin kita semua, ternyata penuh bopeng, dempul, dan tameng.

Sastrawan yang mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Timur atas dedikasinya di bidang seni dan budaya serta penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ini telah menghasilkan 100 puisi mengenai makna kemerdekaan. Rencananya kumpulan puisi kemerdekaan itu, akan dibukukan.

Meskipun lebih memilih jalan reflektif untuk memaknai kemerdekaan, tidak berarti Tengsoe kemudian anti terhadap pemaknaan konvensional dalam menyambut 17 Agustus ini. Ia tetap menjadi bagian dari masyarakat bertetangga, yang di setiap rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW) mewajibkan warganya mengibarkan bendera di depan rumahnya.

Tengsoe juga terlibat dalam aktivitas sosial di lingkungannya dalam menyambut hari kemerdekaan dengan pilihan tampilan semarak dan sesak dengan hiasan-hiasan yang menyimbolkan heroisme fisik. Ia masih enjoy dengan budaya gotong royong dalam bentuk kerja bakti di lingkungannya, termasuk mengikuti pertandingan pimpong, dan ikut ritual tirakatan pada malam peringatan 17 Agustus.

Guru besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) Prof Djoko Saryono mengatakan lewat pilihan menyelam ke dalam ini, Tengsoe berusaha membelokkan ritual atau kecenderungan prosaik perayaan kemerdekaan Indonesia.

Lewat puisi-puisi itu, Tengsoe menyodorkan puitika peringatan kemerdekaan Indonesia yang hidup, sederhana, dan mengena. Lewat puisi ini, kita diajak merasakan pijaran-pijaran puitis dalam peristiwa dan simbol kemerdekaan.

Tag
Share