Hitam dan Putih

Aku menggeleng pelan, kemudian melanjutkan perjalanan.

“Kita sudah sampai, kau tak perlu berjalan lagi. Inilah rahasianya. Tutup mata dan dengarkan baik-baik!” Dia membeberkan rahasia, yang tak lain hanya komat-kamit tanpa aku mengerti. 

Tiba-tiba siluet itu menghilang, meninggalkan banyak pertanyaan di lubuk hati. Rahasianya belum selesai dibeberkan, sementara dia menghilang tanpa pamit meninggalkan aku seorang diri. Harapan palsu! 

Aku berdiam diri sesaat, sampai suara jeritan familier menyambar telinga dan membuat jemariku gemetar terasa ngilu. Di dalam kegelapan ini tak ada seorang pun yang aku lihat. Lantas siapa yang meniru suara serupa denganku? 

Aku berlari menerobos kegelapan, mencari penerangan hingga tiba pada sungai yang kuseberangi sebelumnya. Air semakin dalam, sementara langit mulai menghitam pertanda malam akan segera berkuasa. 

Aku menitikkan air mata, kali ini benar-benar nyata! Tadinya berjanji pada diri sendiri untuk tidak bermain lebih dari tiga menit, tapi aku justru terlena! Sakit dan perih di kulit ini sungguh menyiksa. Tubuhku mulai dipenuhi bintik-bintik hitam, bukan karena kutekan dengan kuku panjang agar ibu percaya dengan kebohonganku, tapi inilah dampak dari kebohongan itu sendiri. 

Aku berenang, membiarkan air sungai yang keruh menggerayangi tubuhku hingga berhasil menepi dan melihat rumah dari kejauhan. Hanya itu satu-satunya putih yang tersisa. Aku berlari kencang, lalu mendobrak pintu rumah. Ibu dan kakak hanya menyaksikan tubuhku yang berguling-guling di lantai sembari menjerit kesakitan. Tak ada yang berani membantu, termasuk penghuni rumah lainnya. Mereka hanya menatap iba, sebab aku telah berbeda dari semuanya.

“Ibu, Ibu! Tolong Adik! Dia kesakitan,” pinta Kakak, tapi tidak berhasil memengaruhi ibu.

Kakak berusaha menolong dengan membawakan kain putih untuk menyelimuti tubuhku.

“Jangan! Nanti hitamnya menular.” Ibu menepis kain putih, melarang kakak mendekat karena takut bintik-bintik hitam akan menular pada tubuhnya.

“IBU! TEGAKAH IBU MEMBIARKANKU BEGINI?” Aku menangis histeris, tidak ada yang menolong. 

Perlahan hitam itu mulai menguasai tubuhku, detik demi detik kupasrahkan tubuh yang putih berubah menjadi siluet hitam. Tiba air mata penghabisan membasahi lantai, dan aku pun berdiri tanpa rupa. Senyum terakhirku tak terlihat. Rambut, tangan, dan kaki tak berwujud. Ibu dan kakak menangis, mereka tak bisa merasakan kehadiranku lagi. Itulah sebabnya mengapa kami selalu dilarang untuk pergi ke tempat hitam, sebab kenikmataan itu hanya penawaran sementara yang berujung kesengsaraan.

Tentang Penulis

Egi Cahya Prameswari, perempuan kelahiran Jambi dan berkuliah di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Jambi. Menulis adalah kegiatan sehari-hari, kopi pelengkapnya.

Tag
Share