Beliau dan Televisi
Dedi Saputra--
Saya agak kesal, jelas dia menertawakan perangai Beliau. Tapi saya tetap diam menanti apa lagi yang mungkin dia ketahui tentang Beliau. Pikiran saya tiba-tiba sampai ke rumah, teringat istri saya. Kenapa dia tidak pernah bilang kalau mertuanya itu sering keluyuran. Tidak tahu? Mustahil.
Benar saja, ketika sampai di rumah saya menanyakan perihal Beliau seperti cerita Mang Dollah. Istri saya bilang Beliau membohonginya. Beliau bilang mau ke musala dekat rumah kami. Beliau bilang mau membersihkan kotoran cecak, menggebuk karpet yang berdebu. Istri saya baru tahu ternyata dia dibohongi. Istri saya cemberut dan meninggalkan saya. Mungkin dia merasa kesal kepada saya karena menganggapnya tidak memperhatikan Beliau.
Hari berikutnya ketika pulang kerja, saya sengaja mampir di tempat Mang Dollah. Saya berniat akan membeli seporsi baksonya. Namun tidak saya sangka Mang Dollah langsung membuka omongan duluan.
“Pas sekali Pak Dedi mampir. Itu lho, Pak. Ayah Bapak. Tadi pagi hampir berkelahi dengan Wak Mun.”
“Astaga. Apa pasalnya, Mang?” saya kaget betul mendengarnya.
“Ayah Pak Dedi itu sepertinya keracunan televisi, Pak,” kata Mang Dollah sambil memasukan cabai rawit giling ke dalam kuah bakso saya. “Itu lho, Pak. Berita pembunuhan jendral Iran oleh Amerika itu jadi pasalnya.”
Astaga, kenapa pula berita begituan menjadi urusan Beliau. Sampai dia yang nyaris berperang dengan Wak Mun.
Mulanya Beliau membuka pembicaraan mengenai Amerika, negara adikuasa yang menembak mati jendral besar Iran. Negara yang sudah lama menjadi musuhnya. Iran karena tidak terima atas matinya jendral mereka, mengumumkan rencana balas dendam. Mereka memberi tawaran hadiah sekian triliun kepada siapa saja yang bisa memenggal leher pelakunya.
Beliau setuju dengan wacana itu. Lain halnya dengan Wak Mun yang menentang keras tindakan balas dendam begituan.
“Biadab itu namanya. Kepala manusia kok diperjualbelikan,” kata Wak Mun.
“Lah, yang memulai kebiadaban siapa?” tanya Beliau.
Perdebatan pasal kepala itu seperti tak ada ujungnya. Wak Mun yang umurnya lebih muda dari Beliau tidak mau mengalah. Ia tetap menyalahkan pihak yang menawarkan uang triliunan untuk membunuh. Itu mengundang kejahatan-kejahatan selanjutnya. Ini sama saja menambah kegaduhan global.
Beliau tetap ngotot kalau nyawa harus dibalas nyawa. Tidak ada cara lain. Lagi pula yang dibunuh bukan orang sembarangan, tegas Beliau.
“Kalau itu menimpa keluarga sampean, bagaimana? Mustahil sampean tidak menuntut balas. Pasti sampean tidak puas dengan hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada pelakunya. Jangan sok bijak, deh,” kata Beliau sambil tertawa geli.
Karena merasa diremehkan Wak Mun menggebrak meja. Mengeluarkan kata-kata kasar. Beliau tidak mau kalah garang. Beliau berdiri berkacak pinggang, wajahnya menantang. Untunglah salah satu tetangga yang kebetulan berada di kedai Wak Mun berbaik hati mengantar Beliau pulang.