Tak Boleh Kampanye, Steril dari Baleho dan Sticker Pilkada

MASYARAKAT KAMPUNG PULO: Ketua Komunitas Masyarakat Kampung Pulo Zaki Munawar menunjukkan suasana Kampung Pulo di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Bart, Senin (11/11/2024). --

Menjaga Keharmonisan Kampung Adat Pulo di Tengah Pilkada

Tidak ada atribut kampanye yang mewarnai Kampung Pulo di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kampung adat ini steril dari stiker, kaus, baliho, maupun spanduk yang mempromosikan pasangan calon peserta Pilkada 2024.

 

BERBEDA dengan kawasan di luar kampung adat sana, berbagai atribut mewarnai jalanan, area-area publik, bahkan terang-terangan dipasang di tempat tinggal warga sebagai bentuk dukungan kepada pasangan calon (paslon) yang hendak maju pada pemilihan Bupati-Wakil Bupati Garut, maupun pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat.

Atribut kampanye paslon itu tidak ada terpampang satu pun di kampung adat. Semua terlihat seperti hari-hari biasa. Di sini hanya berdiri bangunan masjid dan enam rumah panggung yang berjejer berhadapan di kampung itu.

Ketiadaan atribut kampanye di lingkungan adat itu bukan berarti mereka yang tinggal di Kampung Pulo tidak mau tahu maupun tidak mengetahui bahwa di Garut dan Jawa Barat sedang melaksanakan pemilihan kepala daerah.

Mereka selama ini terbuka untuk mendapatkan akses informasi tentang perkembangan zaman di luar kampung, termasuk mendapatkan informasi pelaksanaan pilkada dan juga mengetahui siapa saja calon yang maju dalam pilkada.

Mereka mendapatkan informasi tentang pemilihan itu dari petugas panitia pemilihan kecamatan, maupun panitia pemungutan suara juga dari pemerintah desa tentang persiapan akan diadakannya pemilihan pemimpin daerah.

Bukan hanya atribut kampanye yang tidak ada di lingkungan adat itu, kampanye pasangan calon kepala daerah yang maju pada pilkada pun selama ini tidak ada. Kalaupun ada dan mau memberikan bantuan tentunya akan dilakukan di luar kampung.

Menurut Ketua Komunitas Masyarakat Kampung Pulo Zaki Munawar, ketiadaan atribut kampanye pasangan calon di lingkungan adat itu bukan tanpa sebab. Selain tempat tersebut merupakan aset pemerintah daerah, masyarakatnya juga ingin menjaga keharmonisan satu sama lainnya.

Apabila ada salah satu atribut kampanye terpasang di lingkungan adat, kemudian masyarakat adat menyampaikan dukungan pada satu pasangan calon, lalu yang lainnya berbeda pilihan, dikhawatirkan terjadi konflik di kampung adat atau sebaliknya menilai berbeda dari masyarakat luar.

"Kampanye di sini tidak boleh, khawatir terjadi bentrok. Kita tidak tahu di dalam hati, makanya tidak boleh. Kalau pilihan pasti ada, dan itu bebas saja," kata Zaki saat ditemui ANTARA di Kampung Pulo awal pekan ini.

Mengingat kembali sejarah berdirinya Kampung Pulo itu hadir dan mampu bertahan karena adanya keharmonisan antara masyarakat, dan juga toleransi agama yang tinggi karena warga di Kampung Pulo sebelumnya merupakan penganut ajaran Hindu pada abad VIII, terbukti adanya peninggalan Candi Cangkuang di atas bukit kampung itu.

Selanjutnya pada abad ke-17, Arief Muhammad seorang muslim dari Kerajaan Mataram, datang ke Kampung Pulo menyebarkan ajaran Islam sampai meninggal dunia di kampung tersebut. Oleh keluarganya dan masyarakat setempat ia dimakamkan di sekitar Candi Cangkuang, yang menunjukkan keharmonisan dan toleransi dari perbedaan keyakinan pada zaman itu.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan