Baca Koran Jambi Ekspres Online

Revisi UU Sisdiknas Tegaskan Alokasi 20 Persen Anggaran Pendidikan untuk Pendidikan Dasar hingga Tinggi

Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian--

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO– Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) akan secara tegas mendefinisikan kembali porsi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang wajib dialokasikan khusus untuk sektor pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi X DPR RI sekaligus anggota MPR RI, Hetifah Sjaifudian, dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Minggu (10/8).

Menurutnya, revisi UU Sisdiknas yang kini sedang dibahas merupakan momen penting untuk memperjelas alokasi anggaran pendidikan agar tidak disalahgunakan atau tidak tepat sasaran.
“Hal ini akan menjadi bagian dari revisi UU Sisdiknas, yang memang sudah berusia lebih dari dua dekade. Salah satu poin penting adalah soal penegasan bahwa anggaran 20 persen dari APBN/APBD benar-benar diperuntukkan bagi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, bukan untuk pendidikan kedinasan,” ujar Hetifah.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam forum diskusi bertajuk “Merumuskan Kembali Anggaran Pendidikan Guna Mewujudkan Amanat Konstitusi Menuju Indonesia Emas 2045” yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Hetifah menyoroti persoalan tumpang tindih alokasi anggaran pendidikan yang tersebar di puluhan kementerian dan lembaga negara. Ia menekankan bahwa penggunaan dana pendidikan oleh berbagai institusi harus lebih transparan dan akuntabel.
“Jika anggaran pendidikan kedinasan tetap diambil dari porsi 20 persen itu, maka sektor pendidikan formal — dari jenjang dasar hingga tinggi — tidak akan berkembang secara optimal. Kami ingin memastikan bahwa distribusi anggaran dilakukan secara transparan, tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan kejelasan siapa sebenarnya yang mengelola anggaran pendidikan di Indonesia saat ini, mengingat dana tersebut tidak hanya digunakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tetapi juga kementerian dan lembaga lain yang menjalankan program pendidikan kedinasan.
“Sekarang kementerian mana yang benar-benar fokus mengurus pendidikan? Ternyata, bukan hanya Kemendikbudristek. Banyak kementerian lain yang menggunakan dana pendidikan untuk program-program mereka, termasuk pendidikan kedinasan,” tambahnya.
Hal senada disampaikan oleh Anggota MPR RI, Melchias Markus Mekeng. Ia menilai bahwa proporsi anggaran pendidikan untuk pendidikan kedinasan sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan anggaran untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
“Anggaran pendidikan 2025 mencapai Rp724 triliun. Namun, yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi hanya sekitar Rp91,4 triliun bagi 64 juta peserta didik. Sedangkan untuk pendidikan kedinasan, justru dianggarkan Rp104 triliun hanya untuk 13 ribu orang. Ini jelas tidak adil,” ujar Mekeng.
Ia menyebut ketimpangan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan distribusi anggaran negara yang harus segera dibenahi melalui revisi UU Sisdiknas.
Sementara itu, Ketua Dewan Setara Institute, Hendardi, juga mengkritisi alokasi anggaran pendidikan yang dinilai tidak sesuai dengan amanat konstitusi.

Menurutnya, anggaran 20 persen dari APBN seharusnya tidak digunakan untuk pendidikan kedinasan.
“Undang-undang secara jelas menyatakan bahwa anggaran pendidikan kedinasan tidak boleh berasal dari 20 persen dana pendidikan. Ini penting untuk menjamin keadilan dalam pembiayaan pendidikan nasional,” tegas Hendardi.
Ia mencontohkan TNI dan Polri yang selama ini membiayai pendidikan kedinasan mereka secara mandiri, tanpa mengambil dana dari alokasi pendidikan 20 persen.
“Institusi seperti TNI dan Polri bisa membiayai pendidikan kedinasan mereka sendiri. Jadi tidak ada alasan lembaga lain tidak bisa melakukan hal yang sama. Jangan sampai muncul kesan adanya privilese bagi kelompok tertentu yang mendapat fasilitas pendidikan dan sekaligus penempatan kerja. Ini tidak adil,” katanya.
Lebih lanjut, Hendardi menyebut bahwa penggunaan dana pendidikan 20 persen untuk kepentingan pendidikan kedinasan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Ia menyatakan bahwa wajar apabila masyarakat mengajukan gugatan hukum atas ketidakadilan dalam distribusi anggaran tersebut.
“Kalau anggaran pendidikan digunakan tidak sesuai peruntukannya, itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Wajar jika masyarakat merasa dirugikan dan menggugat kebijakan ini,” pungkasnya. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan