Pemerintah Percepat Pengembangan Energi Terbarukan untuk Capai Nol Emisi 2060
Medco Power Solar Sumbawa dan Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya PV berkapasitas 26 MWp di pertambangan Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat sebagai tambang tembaga dan emas terbesar kedua di Indonesia. ANTARA/HO-M--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO- Pemerintah menegaskan komitmen mempercepat pengembangan ekosistem ketenagalistrikan berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebagai upaya mencapai target nol emisi bersih pada 2060 atau lebih cepat.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Dadan Kusdiana menyebut komitmen tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menekankan optimalisasi potensi EBT nasional.
“Ada beberapa kebijakan strategis dalam PP 40/2025 tersebut. Yang paling utama adalah memaksimalkan potensi EBT di negara ini,” kata Dadan berdasarkan keterangan dalam acara Electricity Connect 2025 di Jakarta, Kamis. Berdasarkan kebijakan itu, Dadan menyatakan bahwa pihaknya menargetkan 19-23 persen bauran energi nasional pada 2030 sudah berasal dari EBT. Ia menambahkan, pemerintah telah menyelesaikan pembaruan agenda transisi energi dalam Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) yang akan dibahas pada Konferensi Perubahan Iklim Dunia COP30 di Brasil. Dadan menjelaskan bahwa pengurangan penggunaan bahan bakar fosil Indonesia tercatat turun dari 34 persen pada 2019 menjadi 29 persen pada 2024. “Angka ini menunjukkan bahwa transisi kita dalam hal energi bersih membuahkan hasil yang baik,” ujarnya.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar menjelaskan arah transisi energi bersih telah tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025– 2034. Ia menyebut pembangunan pembangkit hingga 2034 direncanakan mencapai 120 gigawatt (GW), dengan sekitar 79 persen berasal dari pembangkit EBT. “Penambahan kapasitas pembangkit akan didukung oleh Super Grid serta sistem penyimpanan energi untuk menjamin fleksibilitas dan keandalan pasokan,” katanya. Super Grid tersebut, lanjut Wanhar, akan menghubungkan sistem listrik antarpulau besar, dengan target interkoneksi Sumatra–Jawa beroperasi pada 2029 dan Sumatra–Bintan–Batam pada 2031, disusul Bali–Lombok–Sumbawa pada 2035, Kalimantan–Jawa pada 2040, serta sejumlah interkoneksi lain hingga 2045. “Super Grid menjadi kunci transisi energi menuju net zero emission,” ujarnya.
Wanhar menilai jaringan itu akan mengatasi ketidaksesuaian lokasi sumber EBT dengan pusat permintaan serta mendorong pertukaran pasokan listrik antarwilayah. Sementara itu, Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero) Suroso Isnandar memaparkan rencana pengembangan jaringan transmisi hijau sepanjang 48.000 kilometer sirkuit (kms) dan jaringan distribusi sekitar 200.000 kms untuk menampung listrik dari pembangkit EBT. Ia menyebut berbagai tantangan masih harus diselesaikan, mulai dari kesiapan teknologi smart grid, kapasitas baterai untuk penyimpanan energi skala besar, hingga kebutuhan investasi yang sangat besar. “Kita menjalankan separuh saja dari ini, itu pun sudah sangat masif. PLN tidak akan bisa sendiri dalam investasi sebesar itu,” ucapnya. Karena itu, ia menyebut PLN membuka peluang lebih luas bagi keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan berbasis EBT. "Sisanya kita ajak sektor swasta untuk turut serta,” tambah Suroso. Electricity Connect 2025 merupakan konferensi dan pameran ketenagalistrikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), organisasi yang telah berkiprah lebih dari dua dekade dalam mendorong pengembangan ekosistem kelistrikan nasional. Ajang ini menjadi forum kolaborasi pemerintah, PLN, dan pelaku industri untuk memperkuat transisi energi, memajukan teknologi, serta memperluas investasi sektor ketenagalistrikan. (ant)