Luhut Presiden
Oleh : Dahlan Iskan--
Dalam perjalanan pulang saya diminta periksa dulu di rumah sakit ini. Akan dicek apakah transplant-nya berhasil bagus. Yang meminta begitu Madam Hoching, istri perdana menteri Singapura. Dia pula yang menanggung segalanya.
Hasilnya: bagus. Saya boleh pulang ke Indonesia.
Masuk kamar Pak Luhut saya kaget: beliau tampak sudah sehat.
Wajahnya merona. Tawanya lebar. Jalannya tidak tertatih.
Saya pelototi wajahnya: normal sekali, seperti sebelum sakit. Hanya rambutnya yang berubah: memutih. Itu karena tidak dihitamkan lagi.
Putrinya, Paulina Uli Pandjaitan, ada di situ. ''Sejak hari pertama,'' kata Paulina.
''Waktu Bapak presiden ke sini saya belum bisa berjalan,'' ujar Luhut. ''Hari ini saya sudah bisa berjalan 1 km,'' tambahnya.
Sudah tidak ada selang infus di lengannya. ''Perkembangan tiga hari terakhir seperti sebuah lompatan,'' kata Uli, panggilan Paulina sehari-hari. ''Ya kan, dokter?'' kata Uli sambil menoleh ke dua dokter asal Indonesia di kamar itu.
Kami pun ngobrol di sofa. Saya duduk di kursi tempat Presiden Jokowi duduk tiga hari sebelumnya. Dari sofa ini terlihat tempat tidur pasien. Penyekatnya tidak ditutup.
Setelah sejenak ngobrol soal kesehatan Pak Luhut menyinggung soal politik. Saya tertegun-tegun.
''Sudah boleh ngomong politik seperti itu?'' sela saya sambil menengok ke putrinya.
''Boleh. Itu kan hiburan bagi Papa,'' ujar Uli.
Kami pun tertawa lebar.
Luhut pun meneruskan ceritanya.
Saya pun meneruskan mendengarkannya.