Tapi Sayang, Proyek Pembangkit Skala Besar Masih Jadi Fokus
PLTS Satu Atap. FOTO: ANTARA/HO-Suryanesia --
Meskipun demikian, alih-alih memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan untuk mencapai target, Dewan Energi Nasional (DEN) justru berencana menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025.
Padahal, PLTS atap merupakan salah satu cara konkret untuk bisa mencapai target netral karbon.
PLTS Atap
Sayangnya, meski potensi PLTS atap tak kalah besarnya, proyek pembangkit berskala besar yang padat modal cenderung masih menjadi fokus.
Dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, misalnya, PLTS atap tidak dijadikan opsi dalam program listrik desa (lisdes) untuk menerangi 3.095 desa-desa terpencil yang belum terjangkau jaringan PLN.
Pemerintah hanya memasukkan pembangkit listrik terpusat dari sumber energi terbarukan, seperti PLTS dan pembangkit listrik tenaga hidro, yang pengelolaannya membutuhkan tenaga ahli khusus.
Desa-desa terpencil yang menjadi sasaran program lisdes, lantas dituntut memiliki kemampuan mengelola dan mengoperasikan pembangkit listrik secara mandiri.
Pemerintah hanya berperan sebagai pembangun proyek dan menyerahkan pengelolaannya ke pemerintah daerah atau desa.
Dengan minimnya pengetahuan teknis untuk mengoperasikan sistem pembangkit terpusat yang lebih rumit, maka tak heran jika ada banyak pembangkit listrik tenaga surya yang mangkrak.
Riset yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH di Pekon (Desa) Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, pada Desember 2023 menemukan, PLTS atap yang dipasang secara mandiri oleh masyarakat, ternyata lebih unggul dibanding PLTS terpusat yang dibangun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kondisi ini berawal ketika Kementerian ESDM membangun proyek PLTS terpusat senilai Rp 10,2 miliar pada 2016, namun dalam waktu kurang dari setahun setelah masa uji coba selesai, PLTS atap itu rusak.
Setelah beberapa kali bolak balik untuk melakukan pengecekan dan perbaikan, para teknisi dari pusat tidak lagi merespons ketika PLTS terpusat kembali mengalami kendala. Pada akhirnya, pengelolaan PLTS terpusat dilimpahkan sepenuhnya ke Pemerintah Desa Pekon.
Inisiatif pemerintah menyalurkan listrik melalui pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas memang perlu diapresiasi.
Hanya saja, untuk mencapai demokrasi energi, beralih dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih bersih, tidaklah cukup.
Penentuan jenis pembangkit berbasis komunitas yang mudah dan layak dioperasikan oleh masyarakat di masing-masing lokasi, harus menjadi pertimbangan.