Dari Asosial dan Keranjingan Game ke Kecanduan Buku
BERUBAH DRASTIS: Abdul Bahaudin alias Addin (berbaju biru dongker bersama dengan orang tua, Prof,.Ridho Bayuaji, ST, MT, Ph.D dan Ari Destari saat ditemui di Surabaya, Rabu (8/5/2024). FOTO: ANTARA/MASUKI M. ASTRO. --
Addin mengakui bahwa meskipun sikap kedua orang tuanya lebih halus menghadapi keputusannya berhenti sekolah itu, bagi dia, hal itu tetap dirasakan sebagai ancaman yang tidak mengenakkan.
"Ayah ibu memang tidak marah, tapi jiwa saya tetap tidak bisa menerima keberadaan orang tua saya," katanya ketika berbincang dengan ANTARA.
Berubah
Kini, Addin sudah berubah. Ia bukan Addin yang dulu, yang takut berbicara dengan orang lain. Saat ini, ia sudah bisa bercerita dengan nyaman mengenai perjalanan jiwanya itu, setelah ia berhasil melampaui keadaan yang diliputi rasa tidak diterima, kemudian marah, dan sempat putus asa.
Keadaan jiwa bahwa hidup ini ternyata bersahabat, dimulai ketika ia mulai mau belajar Ilmu Kesadaran yang diampu oleh Bang Aswar di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sebagaimana diceritakan, ia sangat benci dengan kata "belajar". Belajar dianggap ancaman karena ia harus bertemu dengan orang lain yang akan membersamainya. Di pikirannya, belajar bukan memberi pengalaman yang membahagiakan, apalagi mencerahkan. Belajar justru membuat dia merasa bodoh.
Kalau kemudian ia bisa masuk ke komunitas pembelajar Ilmu Kesadaran, itu merupakan hasil "jebakan" dari orang tuanya. Kala itu, ia diajak jalan-jalan, dengan alasan untuk menenangkan jiwa.
Pada pertengahan 2021, ia terpaksa ikut ajakan orang tuanya, yang entah mau ke mana, dia tidak tahu. Ia tahu ketika tiba di Semarang dan bertemu seseorang yang akrab disapa Bang Aswar untuk belajar Ilmu Kesadaran.
Maka, pikiran bahwa ini adalah "konspirasi jahat" untuk dirinya, muncul. Ia kembali terbawa pada rasa marah. Ia hanya menunduk ketika diajak bicara oleh Bang Aswar. Meskipun demikian, sudah ada rasa penerimaan dalam perjumpaan itu.
Addin sempat menceritakan keadaan jiwanya, termasuk aktivitasnya sebagai pengisi konten di media sosial dan permainan game yang selama ini dijalaninya. Bang Aswar kemudian mengambil peta kesadaran yang disusun David Ramon Hawkins, Ph.D, psikiater yang meneliti Ilmu Kesadaran untuk disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul "Power Vs Force".
Bang Aswar saat itu menunjukkan tabel-tabel nature (keadaan alamiah) jiwa yang dialami oleh Addin, mulai dari shame (level 20), grief (75), fear (100), anger (100), dan lainnya. Saat itu, Addin langsung menunjuk angka 1.000 atau pencerahan dan bertanya bagaimana caranya agar bisa langsung mencapai LoC 1.000.
Sekitar 6 bulan di Semarang, tepatnya November 2021, Addin mulai merasakan perubahan pada jiwanya. Ia mulai menerima keadaan, terus semakin nyaman untuk belajar. Dua orang yang dia ingat memberikan andil pada rasa nyaman itu adalah Anas dan Fadil, sesama pembelajar Ilmu Kesadaran, yang usianya lebih tua 2 tahun dari dia.
Belajar Ilmu Kesadaran tidak bisa dilepaskan dari istilah level kesadaran atau level of consciousness (LoC) yang telah dipetakan oleh David Ramon Hawkins, dari hasil penelitiannya mengenai perjalanan jiwa yang progresif selama sekitar 20 tahun.
Hasil penelitian Hawkins itu menghasilkan pemetaan keadaan jiwa dengan level kesadaran, mulai 20 hingga 1.000. Hawkins membagi level kesadaran itu dalam dua istilah yang force (20 -- 175) yang menunjukkan kuatnya ego yang menggerakkan jiwa seseorang dan power dengan angka level 200 -- 1.000 yang menunjukkan jiwa seseorang telah mampu keluar dari jeratan ego.
Angka-angka dari 20 hingga 1.000 menunjukkan keadaan jiwa, seperti 20 (shame) yang bermakna seseorang terkungkung dalam rasa rendah diri dan takut pada penilaian orang lain, 30 (guilt) yang berarti seseorang terkungkung dalam rasa bersalah sehingga tidak merasa berguna dan cenderung menghukum diri.