Larang Penambangan, Warga Pendatang Juga Tak Boleh Sembarangan Masuk
BENDUNGAN AIR BUATAN Penduduk Suku Dayak Meratus (Madi) mengunjungi bendungan air buatan sebagai penampung sumber mata air di Gunung Hapuk kawasan Pegunungan Meratus, Desa Hinas Kanan, Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Senin (8/4--
Menjaga Gunung Hapuk Sebagai Sumber Mata Air Bagi Suku Dayak Meratus
Fajar mulai menyingsing. Pantulan sinar matahari dari ufuk timur mengisyaratkan sebuah kehidupan sederhana di kampung Dayak Meratus yang terbentang luas di bukit-bukit Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, mulai menggeliat.
---
SEBUAH perkampungan di Pegunungan Meratus, tepatnya di Desa Hinas Kanan RT 4, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, ada sebuah kampung yang dihuni suku Dayak yang berjumlah sekitar 20 kepala keluarga (KK).
Di antara penduduk itu, ada seorang lelaki paruh baya, Madi, namanya. Lelaki keturunan asli suku Dayak Meratus itu adalah orang pertama yang menemukan sumber mata air di Gunung Hapuk, letaknya lima kilometer dari tempat tinggal penduduk. Untuk menuju kampung itu, dari Kota Barabai (Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah), berjarak puluhan kilometer.
Dalam perjalanan sore hari, Pegunungan Meratus tampak terhampar jelas di depan mata. Pohon-pohon menjulang tinggi, masih terjaga kelestariannya. Keindahan alam itu menjadi anugerah bagi suku Dayak yang tinggal di pegunungan tersebut.
BACA JUGA:Menunggu Rekomendasi NasDem di Pilkada Jambi, Siapa yang Dipilih?
BACA JUGA:Menteri ESDM Tegaskan Komitmen Indonesia Capai Nol Emisi Karbon
Menoleh ke ufuk barat, kala matahari mulai terbenam, terlihat cahaya merah jingga menyinari vegetasi yang menyelimuti Pegunungan Meratus. Pemandangan alam ini memperkuat alasan mengapa Kalimantan disebut sebagai paru-paru bagi dunia.
Setelah puluhan kilometer perjalanan, terlihat jalan membelah punggung bukit Pegunungan Meratus. Kendaraan roda dua yang khusus dirancang melintasi jalan setapak di hutan, mengantarkan sampai ke rumah Madi yang berada di puncak bukit.
Sebelum era tahun 2000, lelaki yang kini sudah memiliki dua anak dan satu cucu itu, dahulu bersama penduduk di kampung Dayak yang tidak lebih dari 10 kepala keluarga, mereka terbiasa berjalan kaki turun ke kaki gunung yang berjarak belasan kilometer untuk mencari air. Tinggal di wilayah pegunungan, di puncak bukit, tidak menjadikan penduduk di sini mudah mendapatkan sumber mata air.
Namun, dengan keseharian masyarakat suku Dayak Meratus yang biasa berburu kancil ke berbagai penjuru hutan, akhirnya ditemukan mata air yang dapat dimanfaatkan Madi bersama 20 kepala keluarga di kampung itu. Madi menemukan sumber mata air pada 2014 di sebuah bukit yang diberi nama “Gunung Hapuk”.
Untuk sampai ke Gunung Hapuk itu, sebelum jalur dibuka, Madi harus berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar 2 jam dari rumah tinggalnya. Menapak bukit yang terjal, lelaki ini membawa sebilah parang untuk membuka jalur. Dia lihai membuka semak belukar berkat kemampuan berburu yang sudah turun temurun.
Mata air Gunung Hapuk, berada beberapa meter di punggung bukit yang memiliki kemiringan 50-70 derajat. Sejak mata air itu ditemukan, suku Dayak di kampung ini berusaha menjaga kelestarian alam Gunung Hapuk. Mereka menyadari bahwa sumber mata air tersebut berasal dari hutan di sekitarnya.