Hutan dan Manusia Tak Terpisahkan Satu Dengan yang Lain
PEMBUKAAN EGEK : Ketua Dewan Adat Malaumkarta Raya, Spenger Malasamuk, berkomunikasi dengan masyarakat setempat pada acara pembukaan egek di Sorong, Sabtu (8/6/2024). FOTO: ANTARA/YUVENSIUS LASA BANAFANU --
Di Kampung Malaumkarta terdapat 14 marga yang berhak mengolah hutan berdasarkan pemetaan, terdiri atas Kalami Kinipelik, Kalami Tiloke, Kalami Matiligek, Malasamuk, Magablo Lingsuok, Mubalen, Sapisa, Su, Salamala, Ulimpa, Su, marga Magablo pesisir, dan marga Do.
Budaya Egek
Sistem budaya lain yang dianggap penting penerapannya sebagai bagian dari menjaga kelestarian hutan adalah budaya egek. Egek adalah kearifan lokal yang menjadi sistem nilai adat Suku Moi untuk melarang atau melindungi wilayah hutan adat marga yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Penerapan egek ini sebagai salah satu cara strategis Suku Moi melestarikan alam untuk menunjang kebutuhan hidup masyarakat adat setempat dengan memberikan waktu jeda bagi alam untuk beregenerasi.
Egek merupakan warisan budaya dari zaman dulu yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada alam untuk membarui dan memulihkan kondisi sebelum diolah kembali untuk pemenuhan kebutuhan.
Pada kondisi itu, masyarakat dilarang secara adat untuk mengambil hasil hutan selama tenggang waktu yang telah ditentukan.
Budaya egek yang terus dipertahankan hingga masa kini merupakan cara masyarakat Kampung Malaumkarta menjaga alam, terutama hutan sebagai sumber penghidupan.
Secara filosofis, Suku Moi mengakui hutan dan tanah itu adalah kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Suku Moi benar-benar menggantungkan hidup mereka dari kekayaan hutan miliknya.
Intelektual Moi, Torianus Kalami, menyebut pentingnya keberpihakan Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat Suku Moi melalui sebuah regulasi. Hal itu sebagai salah satu cara untuk menjaga hak masyarakat adat dan hutannya, kemudian memberikan ruang bagi mereka untuk memanfaatkan hutan secara baik dan proporsional.
"Kami butuh regulasi Pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap masyarakat adat itu terpenuhi," kata Torianus.
Hingga kini Pemprov Papua Barat Daya belum memiliki regulasi khusus terkait perlindungan terhadap masyarakat adat. Namun di beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Sorong telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Moi.
Implementasi perda tersebut penting sebagai bentuk dukungan dan keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat adat demi mencegah laju deforestasi hutan di Tanah Papua. Di sisi lain, hal itu juga penting guna mengakomodasi pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat adat.
Oleh karena itu, Pemkab Sorong diminta segera menerbitkan regulasi turunan dari perda tersebut untuk mengatur lebih detail soal soal percepatan pemetaan wilayah adat dan hal-hal lain berkaitan dengan kepentingan masyarakat adat.
"Ini menjadi dasar mitigasi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di hutan Papua," ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sorong, Agustinus Asem menyebut terbitnya Perda Nomor 10 Tahun 2017 sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah setempat akan eksistensi masyarakat adat Suku Moi sebagai pemilik utama dari tanah dan hutan yang ada di wilayahnya.