Puluhan Tahun Jalani Usaha Pembuatan Saka
PETANI TEBU: Asneli bersama Jasman petani tebu sedang menyuling tebu untuk diolah menjadi gula merah di Nagari Bukik Batabuah, Kabupatem Agam, Sumatera Barat.--
Usai diperas, air tebu dimasukkan ke dalam wajan berukuran besar dan dimasak menggunakan kayu bakar. Pada proses ini, keahlian seorang pembuat gula merah diuji untuk mendapatkan saka yang manis dan berkualitas.
Air tebu yang dimasak dalam kurun waktu tertentu itu nantinya akan mengental dan masyarakat lokal menyebutnya sebagai tangguli. Selanjutnya, tangguli dipindahkan ke wajan lain untuk proses pendinginan. Kemudian, tangguli kembali dimasak menggunakan kayu bakar dengan suhu api yang tidak terlalu panas.
Selepas itu, tangguli tadi dicetak menggunakan batok kelapa sebelum dijual ke tauke. Pada umumnya saka-saka dari lereng Gunung Marapi dijual ke daerah Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Bukittinggi.
Proses pembuatan dari air tebu hingga menjadi saka atau gula merah, rata-rata menghabiskan waktu hingga tujuh jam, bahkan lebih atau tergantung dari alat yang digunakan. Jika menggunakan mesin berbahan bakar minyak (BBM), maka pembuatan gula merah akan lebih cepat dan produksinya juga jauh lebih banyak dibandingkan menggunakan alat tradisional.
Bertahan
Di tengah kemajuan zaman, saat ini, hampir semua pekerjaan manusia dimudahkan dengan keberadaan teknologi dan mesin-mesin, namun hal itu tidak berlaku bagi Asneli dan suaminya, Jasman (51), si pembuat gula merah di Nagari Bukik Batabuah.
Bisa dikatakan hanya mereka dan segelintir orang saja yang masih bertahan menggunakan kerbau untuk menggerakkan mesin manual guna mendapatkan sari tebu.
Bertahan dengan cara-cara tradisional di tengah gempuran kemajuan zaman bukan tanpa alasan. Hal itu dipilih Asneli dan Jasman agar tetap bisa mengilang tebu dan bertahan hidup, dengan biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan menggunakan mesin.
Jasman petani tebu sedang menyuling air tebu untuk diolah menjadi gula merah menggunakan tenaga kerbau di Nagari Bukik Batabuah, Kabupatem Agam, Sumatera Barat. (ANTARA/Muhammad Zulfikar).
Asneli bersama suami sempat berpikir untuk membeli mesin seharga Rp32 juta itu dengan cara meminjam uang ke bank, namun niat tersebut dibatalkan karena khawatir tidak sanggup membayar cicilan setiap bulannya.
Perempuan paruh baya itu memutuskan tetap menggunakan cara-cara tradisional yang sudah diwariskan keluarganya secara turun temurun untuk memeras air tebu. Dengan mengandalkan tenaga kerbau sebagai penarik mesin, ia mampu menghasilkan maksimal 30 hingga 35 kilogram tangguli dalam sekali produksi, dengan durasi pengerjaan tujuh hingga delapan jam, sedangkan jika menggunakan mesin, dalam sehari bisa memproduksi minimal 50 kilogram.
Meski harus bersaing dengan pembuat tebu lain yang sudah menggunakan alat-alat modern, Asneli dan suaminya tidak pernah surut. Justru, asanya semakin tinggi karena menyadari anak perempuan mereka harus menjadi seorang sarjana muda.
Sarjana Air Tebu
Sebagai mata pencarian utama dan satu-satunya, Asneli dan Jasman paham betul kebutuhan keluarga, termasuk pendidikan anak-anak mereka yang sangat bergantung dari usaha mangilang tebu dan mengolahnya menjadi gula merah.
Sebagai petani tebu dan pembuat saka, pasangan ini menyadari jika hanya mengandalkan hasil perkebunan sendiri, maka tidak akan cukup untuk menyekolahkan dan membiayai anak-anaknya.