Puluhan Tahun Jalani Usaha Pembuatan Saka

PETANI TEBU: Asneli bersama Jasman petani tebu sedang menyuling tebu untuk diolah menjadi gula merah di Nagari Bukik Batabuah, Kabupatem Agam, Sumatera Barat.--

Untuk menambah penghasilan, pasangan itu juga menerima jasa mangilang tebu dari petani lain, karena tidak semua petani tebu di Nagari Bukik Batabuah mempunyai mesin atau pondok tempat pemerasan air tebu. Sebagian masyarakat hanya memiliki kebun tebu, kemudian jika ingin mengolahnya menjadi gula merah, mereka mengupahkannya ke pemilik pemerasan tebu.

Terkait pengerjaan, umumnya para petani tebu dan pemilik mesin bersepakat hasil tebu maupun gula merah dibagi dua, setelah seluruh biaya produksi dikeluarkan. Biaya produksi yang dimaksud ialah upah pengangkut tebu dari perkebunan ke tempat pengolahan serta biaya pembelian kayu bakar.

 Bagi mereka, tidak ada kata letih untuk menyekolahkan ketiga anaknya hingga berhasil menjadi sarjana. Anak pertama pasangan tersebut kini telah menyandang status sarjana. Sekitar lima bulan lalu, anak sulung mereka itu baru saja menamatkan studi di salah satu perguruan tinggi Islam di Kota Bukittinggi.

Sembari menunggu mendapatkan pekerjaan yang dicita-citakan, sang anak kini mengabdikan diri di kampung halamannya sebagai guru mengaji di salah satu taman pendidikan Al Quran.

Tak berbeda jauh dari kakaknya, anak kedua Asneli bernama Elvi juga melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Imam Bondjol Kota Padang. 

Bagi Asneli dan Jasman, dapat menyekolahkan anak-anaknya dan berhasil menjadi sarjana merupakan kebahagiaan yang tak dapat diukur dengan mata uang manapun. Semua berujung pada kepuasan batin.

Sambil bersantai, Jasman berharap dan berdoa anak-anaknya kelak menjadi orang yang sukses dan berguna bagi lingkungannya.

Lelaki yang sudah berusia setengah abad itu tak pernah berharap lebih, apalagi mengharuskan dua anak perempuannya untuk ikut ke kebun tebu dan membuat gula merah, namun anak-anaknya sadar diri bahwa membantu orang tua merupakan suatu keharusan serta wajib ditunaikan selagi bisa.

Bahkan, jika putri keduanya yang saat ini berkuliah di UIN Imam Bonjol itu libur, ia selalu ikut membantu Asneli dan Jasman untuk mangilang tebu dan membuat saka di sebuah gubuk tua yang tepat berada di belakang rumah mereka.

Hilirisasi Produk

Data di Pemerintah Nagari (Desa) Bukik Batabuah menunjukkan dari 12.000 lebih penduduk, sekitar 2.500 kepala keluarga di antaranya merupakan petani tebu. Setiap pekan, daerah itu bisa memproduksi 18 hingga 22 ton saka.

Gula merah yang dikumpulkan para pengepul tersebut dijual kembali ke sejumlah daerah, di antaranya Pasar Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, Kota Bukittinggi, Kabupaten Solok, Kota Padang, hingga Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang merupakan salah satu daerah terluar Indonesia di Pulau Sumatera.

Perkebunan tebu sangat berdampak positif terhadap perekonomian desa. Bahkan, sektor itu termasuk yang terus tumbuh di saat bidang lainnya mengalami penurunan, ketika pandemi COVID-19.

Pemerintah nagari terus mendorong masyarakat setempat berani berinovasi dan membuat produk turunan lainnya selain gula merah. Pelaku usaha gula merah juga disarankan segera mengurus izin pangan industri rumah tangga (PIRT).

Tidak hanya itu, Pemerintah Nagari Bukik Batabuah juga menjajaki kerja sama dengan sebuah universitas untuk membantu masyarakat setempat membuat produk turunan lainnya, salah satu yang ditargetkan ialah hilirisasi sari tebu menjadi minuman kemasan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan