Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, taman bumi itu berupa kaldera yang unik karena memiliki beberapa kaldera di dalamnya.
Di dalam kaldera pertama, terbentuk kaldera kedua yang berbentuk melingkar dan di tengah kaldera itu adalah Gunung Batur dengan ketinggian 1.717 meter. Di dalam kaldera tersebut juga terdapat Danau Batur.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Gunung Batur mengalami 26 kali letusan dari tahun 1804 hingga 2000 dan letusan besar terjadi pada 1888, 1921, dan 1926.
Sementara, Balai Wilayah Sungai Bali-Penida melalui situs Penyelamatan Danau Prioritas Nasional mencatat Danau Batur memiliki luas perairan 16,09 kilometer persegi pada 2022 dengan kedalaman air mencapai sekitar 73 meter.
Pengunjung dapat menyaksikan langsung bekas-bekas letusan besar pada 1926, di antaranya ladang lava hitam yang terhampar di sekeliling gunung berapi aktif itu.
Wisatawan pun dapat menikmati mentari pagi dengan gugusan pegunungan dan merasakan lebih dekat hamparan bekas aliran lava itu dengan cara mendaki. Bisa pula menikmati wisata petualangan dengan menumpangi kendaraan khusus dengan sensasi medan terjal dan berliku (off road) yang disewakan para pelaku wisata setempat.
Pemandu wisata petualangan kaldera Batur (Kaja) Putu Merta mengungkapkan praktik di lapangan secara tidak langsung ia sudah menjelaskan cerita dan kisah kepada wisatawan.
Selain menjelaskan ladang lava, ia juga memberikan kisah penduduk setempat yang relokasi di wilayah lebih tinggi di Desa Batur karena terdampak letusan Gunung Batur pada 1926.
Saat ini, sebagian wilayah di sekitar gunung itu memiliki kondisi kering, sebagian lainnya memiliki kondisi tanah yang subur sehingga cocok ditanami sayur termasuk bawang.
Lelah berwisata mengelilingi kaldera Batur, wisatawan dapat merasakan sensasi air hangat alami sambil menikmati pemandangan Gunung Abang dan Danau Batur.
Ada juga wisata pasir hitam, Pura Jati di pinggir Danau Batur dan hutan pinus sebagai pilihan lain daya tarik wisata di Kintamani.
Daya tarik di Kintamani sudah tersedia dan memiliki peluang besar untuk dikemas lebih lanjut menjadi wisata narasi.
Tantangannya adalah mengemasnya dengan perspektif yang lebih segar dan menarik, baik teks maupun audio visual.
Meski begitu, wisata cerita atau narasi itu bukan soal laku atau tidak laku. Lebih dari itu, kiat penceritaan objek wisata ini dapat melekat dan bertahan di hati masyarakat dan wisatawan.
Selain itu, perlu juga memikirkan jangka panjang atas setiap strategi promosi pariwisata itu agar alam Bali dan Kintamani tetap berkelanjutan. (ant)