JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta revisi pada beberapa pasal tertentu dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penafsirannya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menyoroti pasal yang perlu direvisi yakni pasal 102 butir "a" yang mengatur upaya Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah salah satunya dengan melarang praktik sunat perempuan.
"Saya kira ini perlu dipertimbangkan karena kata 'sunat' itu kan menggunakan istilah agama supaya tidak menjadi kerancuan, dan sunat di dalam agama itu baik perempuan adalah dibolehkan," kata Miftahul dalam sesi diskusi yang digelar di Jakarta Selatan pada Jumat.
Ia menyarankan, frasa "sunat perempuan" dalam pasal tersebut diganti menjadi pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan atau P2GP sehingga tidak menyinggung istilah agama yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.
BACA JUGA:Ketika SAH Bicara Lumbung Pangan Desa Bagi Ketahanan Indonesia
BACA JUGA:KPU Perpanjang Pedaftaran Calon
Kemudian, Miftahul juga meminta Pasal 103 ayat (4) yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja secara tertulis menegaskan dikhususkan untuk pasangan yang sudah menikah.
"Ini untuk apa?, Untuk menutup pintu bagi seks bebas dan demi menjaga yang sudah terlanjur menikah agar terjaga kesehatan reproduksinya dan tidak melahirkan anak di usia terlalu dini," ujarnya.
Terakhir, dirinya juga meminta PP ini untuk menegaskan bahwa perilaku seksual yang dimaksud adalah perilaku seksual yang benar dan aman baik menurut ketentuan agama maupun anjuran kesehatan.
"Dalam kata benar itu terkandung makna benar secara syariat atau secara agama. Siapa itu?, Tentunya yang sudah menikah, juga benar secara ilmu kesehatan," ujarnya.
Diketahui, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menegaskan aturan tentang kontrasepsi dan pendistribusiannya sudah sesuai dengan norma agama.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan sebagai, produk turunan dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
"Dalam PP tersebut, Pasal 98 harus dibaca karena memuat upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. Jadi, tidak boleh bertentangan dengan itu, sehingga pasal-pasal yang ada di bawahnya tidak boleh lepas dari yang ada di Pasal 98 itu," ujarnya.
Hasto juga mengemukakan pelayanan kesehatan reproduksi yang disebutkan di Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, di mana pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (ant)