Pada 22 September 2024 di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis berupa pementasan wayang kulit "Kumbokarna Mlebu Swarga", dan puncaknya pada 25-29 September 2024 di Dusun Keron berupa pementasan berbagai kesenian, seperti tarian, musik, performa seni, kolaborasi pementasan, pembacaan puisi, wayang orang, melukis on the spot, teater, pameran foto, arak-arakan budaya, dan pidato kebudayaan.
Sedikitnya 120 grup kesenian, antara lain, dari kelompok-kelompok basis komunitas dan jejaring di daerah setempat --termasuk sejumlah grup pelajar--, kota besar, luar Jawa, serta luar negeri dengan total sekitar 2.000 personel ikut festival. Mereka berkesempatan memperoleh jadwal mencapai "Panggung Semut", untuk menghadirkan pementasan.
Sebagaimana kekhasan lainnya dari daya pikat festival, mereka masing-masing telah ditata apik oleh panitia untuk pementasan secara disiplin, tepat waktu, dan tanpa jeda antargrup, sejak pagi hingga tengah malam.
Untuk memulai waktu tiba pementasan, tak ada yang harus ditunggu terkait kehadiran tamu khusus, pejabat, atau sosok elite. Bahkan menyangkut banyak atau sedikitnya penonton sudah berkumpul di arena festival seluas setengah lapangan sepak bola itu. Kemajuan teknologi informasi dimanfaatkan siapa saja, termasuk para youtuber melakukan siaran langsung pementasan di "Panggung Semut" yang terkesan unik, gagah, dan megah itu sehingga secara seketika tetap terpublikasi luas.
Festival itu disebut sebagai "wow" (menakjubkan) oleh pengajar Program Studi Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta Doktor Paramitha Dyah Fitriasari. Ia hadir membawa 29 mahasiswa untuk kuliah lapangan, mengkaji manajemen pertunjukan seni budaya.
Secara khusus, para mahasiswa beroleh kesempatan audiensi di Sanggar Saujan Keron dengan Sutanto Mendut (77), budayawan dan pendiri Komunitas Lima Gunung, sekitar seperempat abad lalu.
"Semua yang datang menonton maupun pentas, juga pedagang makanan melakukan tindakan kebudayaan dengan ikhlas dan gembira. Mereka yang menyiapkan segala keperluan festival juga demikian. Ini festival istimewa dan "wow" (menakjubkan)," ucap Tata.
Tema Festival
Rumusan tema Festival Lima Gunung 2024, "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", dipikirkan, direnungkan, dan didiskusikan secara matang para tokoh dan pegiat utama Komunitas Lima Gunung, sejak awal tahun ini.
Rangkaian tulisan tema dibuat menggunakan kelobot, dipajang di panggung utama sehingga setiap penonton tertancapkan ungkapan reflektif tentang situasi akhir-akhir ini yang melingkupi suasana kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara.
Oleh sesepuh komunitas, Sitras Anjilin (65), ungkapan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone" yang menandai situasi zaman tidak menentu, telah dituliskan para pujangga pada masa lampau, termasuk Ranggawarsita sekitar 1860 dalam "Serat Kalathida" sebagai zaman edan.
Komunitas merumuskan tema tersebut pada festival tahun ini sebagai pengingat berbagai kalangan khalayak, terutama orang desa dan gunung, supaya tidak kaget menghadapi segala kejadian dan fenomena yang tak terduga.
Dalam menghadapi zaman tidak keruan, Sutanto memandang pentingnya setiap individu memperkuat kepribadian pada nilai-nilai budaya bangsa serta menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan langkah membangun harapan kehidupan lebih baik.
"Terhadap 'Wolak-Waliking Jaman Kelakone', supaya hati-hati, tokoh-tokoh dan elite. Desa mengingatkan," ucapnya.
Tembang berbahasa Jawa langgam "Dhandhanggula" terkait dengan tema itu ditemukan Komunitas Lima Gunung karena sering dilantunkan orang desa sebagai lagu "Ura-ura". Dalam kirab budaya Festival Lima Gunung melewati jalan-jalan Dusun Keron, tembang itu dilantunkan dalang Sih Agung Prasetyo.
Syair tembang itu: Semut ireng ngendhog jroning geni/ Ono merak memitran lan baya/ Keyong sak kenong matane/ Tikuse padha ngidung/ Kucing gering ingkang nunggoni/ Kodhok nawu segara oleh banteng sewu/ Precil-precil kang anjaga/ Semut ngangkreng anggrangsang Redi Merapi/ Wit ranti awoh dlimo