Berkulit gelap dengan tinggi hampir dua meter, "Datuk Godang" bernama Togar berjalan mantap dengan keempat kakinya, menyeberang sungai dan membelah hutan.
Belalai panjangnya sesekali terangkat ke atas menyentuh dedaunan di pohon yang menjadi kanopi hutan dekat Pusat Koservasi Gajah (PKG) Minas di Riau.
Memimpin barisan terdiri dari tiga gajah, derap Togar tetap stabil meski ada bekas luka terlihat di kaki kirinya. Sesekali belalainya terlihat mengambil rerumputan di jalur yang dilaluinya di kawasan yang termasuk dalam Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim itu.
Sang Datuk Godang, nama panggilan gajah oleh salah satu masyarakat asli Riau termasuk di wilayah Kabupaten Siak lokasi PKG Minas, adalah salah satu korban interaksi negatif manusia dan gajah ketika dia terkena jerat yang membuat kakinya hampir putus.
Mahout atau pawang gajah yang merawat Togar, Syahron, mengatakan dia ditemukan beberapa tahun lalu dalam keadaan luka parah dan butuh berbulan-bulan sebelum akhirnya dapat berjalan kembali seperti saat ini, membelah hutan dan bermain di sugai.
Kehadiran Togar memiliki arti khusus bagi Syahron yang kerap memanggilnya "nak". Salah satunya karena tidak lama setelah anak bungsu Syahron lahir, Togar ditemukan dalam keadaan luka parah.
Si gajah kecil itu ditemukan pada 2019 di kawasan hutan tanaman industri di Kabupaten Siak. Jerat babi buatan manusia menembus daging Togar, melukai sendinya sebelum akhirnya gajah itu dibawa ke PKG Minas untuk dirawat.
Layaknya anak-anak, Togar yang tidak dapat kembali ke alam liar karena sudah terkena sentuhan manusia dan tidak memiliki kawanan untuk melindunginya, memiliki sifat iseng yang senang mengganggu gajah yang lebih tua.
Togar adalah salah satu dari 15 gajah yang berada di PKG Minas dan juga yang paling muda dengan usia sekitar 6 tahun. Sementara yang tertua bernama Sengarun yang sudah berusia 59 tahun.
Gajah sumatera, yang memiliki nama ilmiah Elephas maximus sumatranus, bisa dikatakan merupakan salah satu "penduduk asli" di wilayah tersebut.
Namun, keberadaannya semakin terjepit karena habitat yang semakin sempit akibat pesatnya perkembangan perkebunan sawit dan pertambahan populasi, ditambah dengan ancaman pemburu yang mengincar gading gajah.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, jumlah gajah sumatera di habitat aslinya di Riau diperkirakan tersisa 200 hingga 300 ekor.
Sementara data Rimba Satwa Foundation (RSF) memperkirakan tersisa 300-350 ekor gajah yang tersebar di tujuh kantong di seluruh Riau.
Upaya konservasi terus dilakukan, termasuk pelindungan gajah di alam liar dan penguatan kapasitas penegakan hukum, penanggulangan konflik dengan manusia dan promosi praktik hidup berdampingan, serta penyelamatan populasi gajah.
"Program yang kita lakukah salah satunya mengingat populasi gajah sumatera sudah terancam punah, yang kita lakukan di sini ada namanya breeding program, yaitu pengembangan biakan. Kemudian dari sektor memperkaya pakan, kita juga melakukan beberapa kegiatan, seperti penanaman, harapan kita ke depan bisa mencukupi," jelas Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Muktiali Harahap, ketika ditemui di PKG Minas.
Selain upaya meningkatkan populasi gajah, BBKSDA Riau yang beroperasi di bawah KLHK juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mencegah interaksi negatif antara manusia dengan mamalia terbesar di Indonesia itu.