Bersama dengan warga sekitar, telah dibentuk Kelompok Masyarakat Peduli Gajah (KMPG) untuk menjadi wadah komunikasi antara masyarakat dengan penggiat konservasi baik dari pemerintah melalui PKG Minas serta BBKSDA Riau dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi satwa termasuk RSF.
Muktiali mengatakan dilakukan pula penanganan dini untuk mencegah konflik.
Memperhatikan pola pergerakan gajah liar, mereka membuat blokade, api unggun dan menggunakan bunyi. Namun, ketika upaya-upaya itu tidak membuahkan hasil, gajah patroli yang berada di PKG Minas akan dikerahkan untuk menggiring pergerakan gajah liar.
Di sekitar PKG Minas sendiri terdapat satu kantong gajah liar, dengan 10 ekor gajah teridentifikasi dalam kawanannya.
Untuk memastikan pergerakan maka pihaknya sudah memasangkan GPS collar atau kalung GPS kepada pemimpinan kawanan gajah tersebut.
Selain itu, penanaman pakan gajah di wilayah jelajahnya untuk memperlambat pergerakan dan menghindari konflik dilakukan karena selama ini banyak daerah jelajah gajah liar yang sudah terkonversi menjadi perkebunan sawit, tetapi tidak menyediakan tempat untuk gajah bergerak dan mencari makan.
Sosialisasi dan edukasi juga dilakukan dengan cara yang unik, seperti ketika tiga gajah dari PKG Minas bernama Indah, Vera dan Baskin menjadi petugas upacara peringatan HUT RI ke-78 pada tahun lalu.
Bersama mahout masing-masing, ketiga gajah itu berbaris rapi membawa Sang Merah Putih dan menjadi pengerek bendera.
Berbagai upaya pencegahan dan sosialisasi itu dilakukan karena interaksi negatif berbahaya tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk gajah, seperti yang dialami Togar.
Selanjutnya, upaya menambah ketersedian pangan untuk gajah juga perlu diperluas karena keberadaan ketersediaan pakan mumpuni dapat menekan tingkat konflik antara manusia dan gajah sekitar 15-20 kali per tahun.
Kehidupan yang harmonis membutuhkan pengertian semua pihak.
Dalam kasus ini, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat desa diperlukan agar mereka dapat hidup berdampingan dengan para gajah dengan memahami kebiasaan dan kebutuhannya, karena sebelum masyarakat tiba di sana, wilayah itu merupakan rumah bagi gajah.
Dalam arti, manusia dapat dikatakan sebagai "pendatang" di tempat para gajah, kata Muktiali.
Pendekatan Budaya
Tidak hanya dari pemerintah, komunitas masyarakat juga bergerak untuk memastikan keberlanjutan populasi gajah terutama di wilayah Riau, termasuk dengan menggunakan pendekatan budaya.
Git Fernando, Manajer Elephant Monitoring Team di RSF, menyampaikan bahwa sosialisasi memperkenalkan gajah sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya masyarakat Riau terus dilakukan.