Putaran Doha 2001 yang menjadi rangkaian perundingan dagang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi terobosan untuk keterlibatan internasional Qatar.
Tahun-tahun berikutnya, keterlibatan internasional negara kaya minyak dan gas itu, semakin besar.
Krisis Lebanon 2008 akibat konflik sektarian yang akut, adalah salah satu konflik besar yang sukses didamaikan berkat mediasi Qatar.
Qatar juga yang membuat Hamas dan Fatah sepakat membentuk pemerintah persatuan di Palestina, lewat Perjanjian Doha 2012, walau kemudian tak bisa diimplementasikan.
Negara itu memediasi Amerika Serikat dan Taliban sampai keduanya menyepakati gencatan senjata pada 2020, yang menjadi prolog untuk penarikan pasukan AS dari Afganistan pada 2021, dan berkuasanya lagi Taliban.
Qatar juga aktif memfasilitasi solusi konflik di Ukraina. Pertengahan Oktober 2023 Qatar menyatakan berhasil mendapatkan komitmen Rusia mengenai pemulangan anak-anak Ukraina yang dibawa paksa ke Rusia.
Diterima Semua Pihak
Dari konflik-konflik itu, terlihat Qatar diterima semua pihak yang nyaman difasilitasi negara kaya raya itu, termasuk Israel yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Qatar.
Kenyamanan pihak-pihak asing itu sendiri buah dari netralitas Qatar.
Bayangkan, negara ini di satu sisi bisa menampung tokoh-tokoh Islam politik yang membuat alergi kebanyakan negara Arab, tapi di sisi lain menjadi pangkalan militer AS.
Tak ada negara Arab yang sikap politiknya demikian independen seperti Qatar. Tak heran, baik Rusia maupun Ukraina, baik Hamas maupun Israel, baik Amerika Serikat maupun Taliban, baik junta dan anti-junta di Afrika, bersedia difasilitasi Qatar.
Ada cerita menarik di balik perjanjian jeda kemanusiaan di Jalur Gaza yang memperlihatkan nilai plus Qatar.
Mengutip laporan harian Inggris, The Guardian, Qatar sebenarnya bersaing dengan Oman dan Turki guna menjadi penengah bagi Hamas dan Israel.
Turki sudah menawarkan diri menjadi mediator, tapi negara-negara Arab tak nyaman dengan Turki, baik karena latar belakang historis maupun faktor politik. Negara-negara Arab lebih nyaman dengan sesama Arab.
Untuk itu Oman yang menawarkan diri menjadi mediator Hamas-Israel pun langsung menjadi pilihan mereka.
Masalahnya, Hamas tak mungkin memilih Oman, meskipun negara ini netral sampai menjadi salah satu tempat yang memfasilitasi perundingan normalisasi hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran. Oman sulit menjadi mediator karena tak punya pengaruh terhadap Hamas.