JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO-Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut korban kekerasan seksual tidak boleh direpotkan dengan birokrasi dalam proses penanganan kasus yang menimpanya.
"Jangan sampai korban di-pingpong,"kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati dalam media talk bertajuk "Pemerintah Sahkan Peraturan Turunan UU TPKS, Perpres UPTD PPA Jadi Acuan Perlindungan Korban Kekerasan", di Jakarta, Jumat.
Ratna Susianawati mengingatkan agar layanannya yang mobile, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), bukan korbannya.
"Yang mobile adalah layanannya, bukan korbannya," kata dia.
BACA JUGA:Beraksi17 Kali, Pelaku Curanmor Dibekuk Polisi
BACA JUGA:Tersangka Janjikan Keuntung Bisnis Cangkang Sawit
Pasalnya, menurut dia, korban yang merasa direpotkan dengan birokrasi akan berdampak pada psikis korban dan mengalami trauma lebih dalam.
"Karena akan berdampak secara psikis, korban jadi trauma berkepanjangan, apalagi kasus kekerasan seksual," katanya.
Menurut Ratna Susianawati, layanan UPTD PPA secara terpadu merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Ini semangat yang ditanamkan, peneguhan dari fungsi UPTD PPA," katanya.
Sebelum UU TPKS disahkan, terdapat enam layanan dasar di UPTD PPA, mulai dari pengaduan, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, mediasi, penampungan sementara, hingga pendampingan korban.
Setelah UU TPKS disahkan, maka layanan UPTD PPA ditambah lima layanan tambahan.
Penyelenggaraan layanan UPTD PPA akan dilakukan secara terintegrasi atau one stop services.
"UPTD PPA bekerja dalam konteks jejaring atau sinergi dengan lembaga lainnya," katanya.
Pemerintah telah mengesahkan salah satu peraturan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).