Bentuk Desa Ramah Satwa, Masyarakat Hidup Berdampingan Dengan Hewan Liar
ORANG UTAN: Orang utan di kawasan rehabilitasi --
Desa Tahawa bisa dikatakan beruntung karena memiliki hutan yang menjadi habitat berbagai satwa liar. Hutan desa ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri LHK SK. 10869/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2019 tanggal 31 Desember 2019 seluas 998 hektare.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang mengapit Desa Tahawa, menjadikan hutan desa masih menghadapi ancaman perburuan oleh masyarakat dari luar desa.
Namun demikian, kondisi itu menjadi peluang untuk menyukseskan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati. Masyarakat Tahawa berkomitmen bahwa wilayah hutan harus tetap terjaga utuh beserta potensi keanekaragaman hayati berada di dalamnya.
BKSDA Kalteng sebagai pemangku penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati melakukan pendampingan masyarakat Desa Tahawa maupun desa-desa di sekitar lingkup Kecamatan Kahayan Tengah, guna mengembangkan konsep Desa Ramah Satwa.
Konsep Desa Ramah Satwa diharapkan akan menjadi solusi untuk menyediakan lokasi pelepasliaran satwa/translokasi hasil penyelamatan satwa di Kalimantan Tengah mengingat bahwa hingga saat ini masih terjadi interaksi negatif antara manusia dengan satwa liar.Selama tahun 2022 terpantau beberapa jenis satwa yang dilindungi di Desa Tahawa, antara lain, orang utan, owa-owa, kelasi, burung seriwang, burung luntur puri, burung tiung batu, pelanduk, kijang, beruang, kucing hutan, tarsius, trenggiling, dan fauna lainnya.
Desa Tahawa pada masa mendatang bisa dikembangkan sebagai desa wisata yang dikelola masyarakat. BKSDA Kalteng juga terus melakukan pendampingan, edukasi, dan pelatihan kepada warga, misalnya, melatih pelacakan jejak hewan yang bisa dimanfaatkan oleh pemandu bagi para wisatawan pecinta hewan liar.
Adapun luas kawasan konservasi yang dikelola Balai KSDA Kalteng mencakup 539.296,67 hektare atau hanya sekitar 3,51 persen dari seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah seluas 15.356.400 hektare.
Luas kawasan konservasi itu terbilang sangat kecil dibanding luas nonkawasan konservasi sehingga upaya konservasi keanekaragaman hayati juga perlu dilakukan di luar kawasan konservasi, salah satunya melalui Desa Ramah Satwa.
Dengan demikian, masyarakat yang bermukim di desa tersebut dapat hidup berdampingan dengan satwa liar tanpa saling mengganggu sehingga kelestarian satwa liar dapat terjaga dan berkembang biak di area hutan yang berada di sekitar permukiman warga.
Saat ini BKSDA Kalteng juga terus melakukan pendataan desa-desa atau wilayah yang berpotensi dijadikan sebagai Desa Sadar Satwa. "Program melibatkan masyarakat inilah yang terus kami kembangkan di Kalimantan Tengah," kata Persada.
Sementara itu, Kepala BKSDA Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun Dendi Sutiadi
menyebutkan wilayah kerjanya mencakup Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, Lamandau, Sukamara, dan Kotawaringin Barat. Pihaknya intens melaksanakan mitigasi dan membangun kemitraan dengan masyarakat.
Kemitraan tersebut yaitu dengan membentuk Desa Ramah Satwa, sebagai pionir bagi desa- desa lainnya untuk membagi ruang bagi satwa liar.
Selain itu, juga melakukan penyuluhan supaya masyarakat tidak melakukan perburuan, bahkan pembunuhan terhadap satwa liar.
Karena, hutan di Kalimantan memang menjadi rumah bagi satwa liar sehingga masyarakat perlu membagi ruang untuk satwa liar