Dengan Lenso Soekarno Mempertahankan Kedaulatan Budaya dari Nekolim

DIPAMERKAN: Koleksi rekaman musik lenso yang dipamerkan dalam pameran bertajuk "Mari Ber-Lenso". (ANTARA/Farhan Arda Nugraha) --

Melihat Koleksi Rekaman Musik Lenso yang Dipamerkan dalam Pameran Bertajuk "Mari Ber-Lenso"

Pada era 1950-an dan 1960-an, musik rock-n-roll dan pop berkembang subur di negara-negara Barat. Lirik lagu penggambaran kehidupan cinta masa muda serta irama petikan gitar rancak yang memancing pendengarnya untuk berdansa membuat genre musik ini digandrungi oleh para remaja pada masa itu.

 

POPULARITAS musik rock-n-roll dan pop dari negara Barat kemudian menyebar bak wabah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Musik dari negara-negara Barat ala Elvis Presley dan The Beatles pun menghipnotis kawula muda Indonesia saat itu.

Dari situ, menjamur festival musik dan band lokal yang membawakan lagu-lagu rock bernuansa The Beatles. Salah satu band yang membawakan lagu-lagu populer Barat ini adalah Koes Bersaudara, kelak bertransformasi menjadi Koes Plus.

Tidak sekadar selera musik, gebrakan kultur populer ini juga turut mempengaruhi tren penampilan pada masa itu, misalnya potongan rambut gondrong dan poni ala personel The Beatles yang menjadi trend setter bagi anak muda tahun 1960-an.

Presiden pertama Indonesia Soekarno menganggap bahwa "demam" musik Barat di kalangan kaum muda menjadi ancaman dari kekuatan neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim) terhadap kedaulatan identitas budaya bangsa Indonesia.

Dalam pidatonya berjudul "Penemuan Kembali Revolusi," yang dibacakan pada Hari Ulang Tahun ke-14 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1959, sang Pemimpin Besar Revolusi itu mengatakan bahwa musik-musik Barat, yang ia sebut sebagai musik "ngak-ngik-ngok" merupakan bentuk imperialisme kebudayaan.

"Engkau, hai pemuda-pemudi, engkau yang tentunya anti-imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi?" kata Soekarno.

Dalam berbagai kesempatan, Soekarno juga mengecam musik-musik Barat yang dinilai melemahkan nasionalisme serta moral generasi muda lewat lirik lagu yang kental dengan unsur percintaan dan liberalisme Barat. Untuk membendung pengaruh musik "ngak-ngik-ngok" di Indonesia, Soekarno pun mengangkat lenso sebagai budaya alternatif.

Lenso adalah nama sebuah tarian yang berasal dari Indonesia Timur, tepatnya Maluku. Secara historis, lenso merupakan bentuk adopsi lokal dari tarian bangsa Portugis yang pernah menginjakkan kaki di tanah Maluku.

Nama lenso sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti sapu tangan, yang menjadi properti utama dalam tari lenso.

Di Maluku, lenso menjadi tari pergaulan muda-mudi yang seiring berjalannya waktu juga dipertunjukkan saat penyambutan tamu atau acara adat. Tari lenso umumnya diiringi oleh alat musik tabuh, seperti tifa dan totobuang.

Soekarno menggemakan lenso sebagai bentuk upaya mempertahankan kedaulatan identitas budaya bangsa dari ancaman Nekolim, mengingat pada masa itu Indonesia merupakan negara yang usianya masih sangat muda.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan