Rela Membayar Banyak Uang Untuk Dapat Tempat di Kapal
EVAKUASI: Personel gabungan evakuasi imigran etnis Rohingya di Aceh, Kamis (24/10/2024). FOTO: ANTARA/SYIFA YULINNAS --
Dalam konteks pengungsi Rohingya, kasus ini menyangkut sindikat kejahatan lintas negara. Mereka ‘‘memangsa’‘ pengungsi yang rentan juga terpinggirkan dari Myanmar dan Bangladesh dengan iming-iming harapan hidup yang layak. Para ‘‘manusia kapal’‘ tersebut sebenarnya adalah korban karena telah membayar mahal namun keselamatan mereka jadi taruhannya.
Pada Maret 2024, sebuah kapal yang mengangkut 142 orang Rohingya tenggelam di perairan Aceh Barat mengakibatkan 67 orang meninggal dunia. Laporan UNHCR menyebutkan, 27 orang diantaranya adalah anak-anak. Polisi menangkap empat orang warga dalam kasus penyelundupan Rohingya yang berujung tragis itu. Mereka adalah Erpan, Harfadi, Muchtar, dan Herman Saputra.
Dari hasil pemeriksaan polisi terungkap bahwa Herman Saputra bukan ‘‘pemain baru’‘ karena sebelumnya ia berhasil menyelundupkan 70 orang Rohingya ke Malaysia pada Desember 2023. Herman mengatur penjemputan mereka ke wilayah perairan Sabang, Aceh, lalu membawanya ke daratan Aceh di Kabupaten Abdya. Dari sana, puluhan pengungsi tersebut diangkut menggunakan truk ke wilayah Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara, lalu diseberangkan ke wilayah Tanjung Selangor, Malaysia.
Kepada polisi Herman mengaku menerima bayaran dari seorang agen di Malaysia. Dari setiap pengungsi Rohingya yang diselundupkan ke negeri jiran itu, Herman mendapat upah Rp5 juta. Jika dijumlahkan maka ia meraup Rp375 juta.
Kasus Aceh Selatan
Kapal penangkap ikan berwarna biru itu terlihat terombang-ambing setelah mesinnya mati di perairan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada 18 Oktober 2024. Di geladak kapal, berjejalan 147 orang Rohingya yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Labuhan Haji, kota tenang yang dahulu dikenal sebagai pelabuhan keberangkatan ibadah haji di zaman penjajahan Belanda, tiba-tiba heboh dengan kedatangan tamu yang tidak diundang itu. Tak dinyana, tiga tamu dari kapal itu bernasib malang. Mereka meninggal dunia, jasadnya ditemukan terapung di laut sebelum mencapai daratan.
Dua hari sebelumnya, Herman Saputra disambut dengan peusijuek di rumah orangtuanya di Desa Drien Kipah, Kecamatan Tangan-Tangan, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Upacara adat itu merupakan bentuk rasa syukur karena ia bebas dari penjara atas kasus penyelundupan pengungsi Rohingya. Namun, setelah hari itu Herman seperti raib tidak diketahui rimbanya.
Pada 21 Oktober Polda Aceh mengumumkan 11 tersangka baru untuk kasus penyelundupan Rohingya di Aceh Selatan. Nama Herman masuk lagi sebagai tersangka bahkan disebut sebagai otak dibalik kasus ini.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Kombes Pol Ade Harianto mengatakan, Kapal Motor Bintang Raseuki yang ditumpangi pengungsi Rohingya itu dibeli oleh Herman seharga Rp580 juta sebulan lalu. Polisi baru bisa meringkus tiga orang tersangka, sedangkan delapan lainnya masih buron termasuk Herman.
‘‘Kapal motor kayu tersebut diketahui milik warga Labuhan Haji, Aceh Selatan, berinisial H (Herman),’‘ kata Kombes Pol Ade.
Di perkara ini, Herman dan tersangka lainnya dijerat dengan pasal penyelundupan orang Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, kemudian pasal angkutan pelayaran tanpa izin yang mengakibatkan kematian orang lainnya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran , UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penegak hukum di Tanah Air harus segera mengambil pelajaran dari kasus Herman Cs di Aceh Barat yang menimbulkan ketimpangan hukuman. Kasus Herman Cs seharusnya menjadi pintu masuk guna memberantas kejahatan perdagangan orang di balik kedatangan Rohingya di Aceh.
Sebelumnya, vonis terhadap Herman Cs jauh lebih rendah ketimbang vonis tiga orang asing yang disidangkan di Aceh Besar. Dalam sidang putusan pada 3 September 2024 itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Erpan, Harfadi dan Muchtar satu tahun penjara dan denda masing-masing Rp15 juta. Vonis untuk Herman Saputra sedikit lebih tinggi, yakni penjara selama 14 bulan atau satu tahun dua bulan, dan denda Rp35 juta.
Sebaliknya, terhadap pelaku orang asing Majelis Hakim menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada terdakwa Mohammad Amin, sedangkan terdakwa Anisul Hoque dan Habibul Basyar dihukum masing-masing enam tahun penjara. Mereka semua juga dihukum denda Rp500 juta subsidair tiga bulan tahanan.