Rela Membayar Banyak Uang Untuk Dapat Tempat di Kapal
EVAKUASI: Personel gabungan evakuasi imigran etnis Rohingya di Aceh, Kamis (24/10/2024). FOTO: ANTARA/SYIFA YULINNAS --
Ketimpangan hukuman pada dua kasus itu disebabkan ada perbedaan antara dakwaan dan penuntutan yang disodorkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada perkara yang melibatkan Herman Cs. Awalnya pelaku dijerat dengan dakwaan primer menggunakan Pasal 120 ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHPidana, dan dakwaan sekunder dengan Pasal 114 ayat (2) UU Keimigrasian dan atau Pasal 55 Ayat (1) ke 1e KUHPidana.
Namun, pada sidang penuntutan, JPU hanya menjerat mereka dengan Pasal 114 ayat (2) UU Keimigrasian. Artinya, ada pasal pada dakwaan yang hilang saat penuntutan.
Kedua pasal tersebut memiliki bobot berbeda baik dari segi peranan pelaku dalam kejahatan dan hukuman yang dijatuhkan. Pasal 120 UU Keimigrasian menjerat pelaku karena melakukan perbuatan penyelundupan manusia, yang mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dengan membawa seseorang atau sekelompok orang secara terorganisir maupun tidak, yang tidak memiliki hak secara sah untuk masuk maupun keluar dari wilayah Indonesia dan atau masuk ke negara lain.
Hukuman minimal adalah pidana penjara lima tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp500 juta dan maksimal Rp1,5 miliar.
Sedangkan Pasal 114 ayat (2) dikenakan kepada penanggung jawab alat angkut, yang sengaja menaikkan atau menurunkan penumpang di luar tempat pemeriksaan imigrasi dan tidak melalui pemeriksaan pejabat imigrasi. Hukumannya maksimal penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Hilangnya pasal 120 telah mengecilkan peranan keempat pelaku di perkara tersebut. Selain itu, juga menggugurkan hasil pemeriksaan polisi terhadap pelaku, yang sebelumnya mengaku mendapat pesanan dari agen di Malaysia.
Imbasnya, vonis yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera. Sebaliknya, terkesan ada diskriminasi terhadap pelaku orang asing pada kasus tersebut.
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Barat, Siswanto, ketika dikonfirmasi beralasan bahwa JPU tidak bisa menggunakan pasal 120 karena saksi kunci tidak bisa dihadirkan ke persidangan, yaitu tiga orang Rohingya dari kapal yang mendarat di Aceh Barat.
Sebabnya, mereka melarikan diri dari tempat penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat sebelum sempat dihadirkan ke muka sidang.
‘‘Saya kecewa sebenarnya saksi dari Rohingya tidak bisa dihadirkan karena sudah melarikan diri, sehingga dalam persidangan kami hanya bisa menghadirkan saksi yang berasal dari Aceh Barat dan saksi penting lainnya,’‘ kata Siswanto.
Pembebasan Bersyarat yang Janggal
Kejanggalan juga terlihat dari pembebasan bersyarat Herman Cs. Penelusuran ANTARA mendapatkan fakta bahwa Herman Cs kini telah bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Meulaboh. Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Kelas II B Meulaboh, Ganda Fernandi, mengatakan keempat terpidana telah menjalani kurungan penjara selama 2/3 dari masa tahanan, dan telah memenuhi syarat administratif maupun substantif untuk menerima pembebasan bersyarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jika dihitung sejak Herman ditangkap pada 25 Maret 2024 hingga sidang vonis pada 3 September, maka terpidana sebenarnya baru menjalani 6 bulan 24 hari dari masa hukuman 14 bulan penjara. Sedangkan tiga terpidana lainnya menjalani sekitar 8 bulan dari setahun masa hukuman.
Profesor Mohd Din, Guru Besar Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, memberikan pandangannya terkait pembebasan bersyarat empat terpidana, terutama Herman Saputra cacat hukum lantaran tidak sesuai dengan pasal 10 UU No. 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
‘‘Pembebasan bersyarat Herman Saputra yang belum memenuhi syarat minimal 2/3 masa hukuman, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2022, menimbulkan pertanyaan besar. Syarat pembebasan bersyarat tidak hanya berkelakuan baik, tetapi juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 dari masa hukuman, dengan ketentuan minimal sembilan bulan,’‘ katanya.