Tak Pernah Digaji, Bisa Kabur Karena Dibantu Anak Majikan

BERTEMU ORANG TUA: Konjen RI Kuching Raden Sigit Witjaksono (kedua kiri) ikut menyaksikan Marlia (kanan) yang menjadi korban TPPO 17 tahun bekerja tanpa gaji di Sarawak bertemu kedua orang tuanya di PLBN Aruk, Sambas, Kalimantan Barat, Jumat (25/10/2024).--

Cerita  Marlia, 17 Tahun Jadi Korban TPPO di Sarawak

PADA 25 Oktober lalu, Marlia, salah satu korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang bekerja 17 tahun sebagai pembantu rumah tangga (PRT) tanpa digaji di Bintulu, Sarawak, Malaysia, akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.

 

HARI Jumat itu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching berhasil membantu menuntaskan kasus Marlia, pekerja migran Indonesia (PMI) asal Desa Semanga, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Oleh karena itu mereka mengantarkan Marlia pulang, sebagai bagian dari tugas pelindungan yang diberikan kepada warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, terutama kepada para PMI.

Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) Kuching Raden Sigit Witjaksono ikut menjemput Marlia dengan diantar dari Rumah Perlindungan Wanita (Rupawan) di Kota Kinabalu, Sabah, di Bandar Udara Internasional Kuching bersama perwakilan dari Departemen Tenaga Kerja (Disnaker) Sarawak dan petugas Imigrasi Sarawak.

Selama Marlia menjalani proses peradilan, menuntut gaji yang tidak pernah diterimanya dari mantan majikannya di Bintulu, ia memang berada dalam perlindungan di Rupawan. Tempat ini merupakan shelter khusus milik pemerintah Malaysia untuk menampung korban-korban TPPO yang sedang dalam proses peradilan, dan di Borneo hanya ada di Kota Kinabalu.

Hampir 2 tahun Marlia berada di sana. Baru setelah semua proses hukum selesai, ia yang tidak bisa pulang ke rumah lebih dari 18 tahun itu, akhirnya boleh pulang dan diterbangkan dari Kota Kinabalu ke Kuching untuk menjalani deportasi atau repatriasi lewat jalur darat.

Sigit mendampingi Marlia menjalani deportasi atau repatriasi di Kompleks Imigrasi, Bea Cukai, Karantina (ICQS) Biawak di Lundu, Sarawak, hingga sampai ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk di Sambas.

Ia juga ikut menyaksikan proses penyerahterimaan Marlia kepada pihak Indonesia yang diwakili Pemerintah Kabupaten (Pemkab Sambas) dari Disnaker Sambas, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sambas, perwakilan Imigrasi Aruk, serta Kepala Desa Semanga Mirdan yang kebetulan merupakan ayah Marlia.

 Selama penantian panjang selama 17 tahun tanpa kabar berita itu, kedua orang tua Marlia nyaris pasrah, menganggap anaknya telah hilang. Namun, siang itu semua yang ada di PLBN Aruk menjadi saksi momen mengharukan saat Marlia akhirnya bisa kembali memeluk erat ibu dan ayahnya setelah 18 tahun lebih mereka terpisah.

Secara khusus, Konjen Sigit menugaskan dua aparat dari KJRI Kuching untuk mendampingi Marlia hingga tiba di kampung halamannya di Desa Semanga.

Dari catatan KJRI Kuching, total perjalanan dari Kota Kuching di Sarawak hingga tiba di rumah Marlia membutuhkan waktu cukup panjang hingga lebih dari 4,5 jam, melalui jalur darat lalu disambung melalui sungai menggunakan speed boat.

Ukuran kapal yang ditumpanginya tidak terlalu besar, berkapasitas enam orang saja karena perjalanan selama 1 jam harus melalui sungai-sungai kecil di antara kebun-kebun sawit, hutan, hingga kebun warga.

Tentu saja sesampai di sana, keluarga dan tetangganya menyambut Marlia dengan gembira. Anak yang hilang itu akhirnya pulang.

Tag
Share