8 Jam Dari Kota Jambi,Berteduh di Bawah ‘Kanopi’ Hutan

GANTUNGKAN KEHIDUPAN PADA ALAM: Penulis bersama Betapi, perempuan Suku Anak Dalam, bermain bersama sejumlah anak di pedalaman Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, Jambi, Kamis (30/10/2024). FOTO: ANTARA/TNBD/LINA/AA. --

Ia belum lama menikah dengan Meluring, pria sesuku yang menjadi guru di sekolah rimba. Ayahnya bernama Gentar, sering membantu para polisi hutan untuk berpatroli dan menjaga hutan tetap lestari.

Dalam dunia yang lebih sering berpindah daripada menetap, cinta Betapi pada Meluring bersemi tanpa paksaan, tumbuh alami layaknya pohon di hutan yang ia pelihara dengan penuh rasa hormat.

Di matanya, terlihat kedalaman jiwa yang telah diajarkan oleh alam bahwa hidup tak lebih dari proses untuk menjaga keseimbangan, mengambil secukupnya, dan memberi kembali sebanyak mungkin.

Di sini, siapa saja akan diajak untuk menyadari bahwa Suku Anak Dalam memang tidak mengenal istilah sustainability seperti yang didengungkan dunia modern.

Mereka tidak mengenal konferensi iklim atau diskusi rumit tentang pengurangan emisi karbon. Namun, di setiap langkah mereka di atas tanah lembab hutan ini, ada kesadaran dan penghormatan yang lebih dalam dari sekadar wacana.

Mereka hidup selaras, memanfaatkan hasil hutan untuk bertahan, tetapi tidak pernah mengambil lebih dari yang diperlukan.

Mereka adalah penjaga alam, berjuang tanpa pamrih untuk merawat setiap pohon, setiap aliran sungai, sebagai warisan yang tak ternilai harganya.

Namun, di luar hutan, dunia bercerita lain. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 17 juta hektare hutan primer antara tahun 2001 dan 2021, sebagian besar untuk perkebunan, infrastruktur, dan pertambangan.

Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia banyak yang telah beralih fungsi, digantikan oleh pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap, menggantikan oksigen dengan karbon yang mencemari.

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi penyumbang hampir setengah emisi karbon Indonesia pada tahun 2023. Inilah ironi yang menghantui langkah bangsa ini ketika hutan yang seharusnya menjadi penyelamat, malah berubah menjadi korban.

Betapi tak perlu tahu soal krisis iklim atau komitmen emisi untuk memahami betapa berharganya hutan ini. Ia tahu bahwa setiap pohon adalah napasnya, setiap aliran sungai adalah darahnya.

Betapi hanya berbicara dalam bahasanya, namun ia mengerti bahasa Indonesia, saat ditanya apakah ia boleh diajak keluar dari hutan ia tersenyum dan menggeleng. Ibunya yang duduk di sebelahnya juga melarang dengan mengatakan sebuah kata yang tak dapat dimengerti namun seperti larangan.

Sebab pada prinsipnya, perempuan SAD bisa saja pergi ke mana pun jika ia diajak oleh suaminya, namun bila tidak dengan suaminya, ia harus tetap tinggal di hutan bersama keluarganya.

Sebab, sebagaimana perempuan SAD lain, ia adalah induk yang tak bisa meninggalkan anaknya, seperti hutan yang akan tetap menjadi hutan apabila dipenuhi pepohonan. Ia melahirkan seorang bayi perempuan cantik yang saat ini sudah mulai belajar berjalan dan dinamai Melompat.

Betapi sudah mulai mengajarkan pada anaknya bahwa menjaga hutan bukan sekadar pilihan, melainkan takdir, panggilan dari leluhur untuk memastikan kehidupan berlanjut.

Tag
Share