Berbeda Populasi dengan Provinsi Lain, Miliki Etnis Minoritas Besar
SISA SENJATA TERORIS: Pengunjung melihat sisa senjata teroris di pameran "Perjuangan Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang" di Urumqi, Daerah Otonom Xinjiang Uighur pada Sabtu (14/12/2024). FOTO: ANTARA/DESCA LIDYA NATALIA --
Tuduhan kerja paksa di Xinjiang oleh AS merujuk pada bentuk-bentuk kerja paksa yang diberlakukan oleh otoritas negara, agen yang bertindak atas nama otoritas negara dan organisasi dengan kewenangan yang serupa dengan negara.
Washington menyebut pemerintah secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan utama program mobilisasi tenaga kerja wajib di Xinjiang adalah untuk tujuan pembangunan ekonomi tapi digagalkan oleh "ekstremisme" agama di komunitas Uighur, sehingga mobilisasi tenaga kerja dan kerja kamp (yang digambarkan oleh pemerintah China sebagai pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan) adalah untuk mengubah pandangan ideologis masyarakat.
Pemerintah AS menyebut pihaknya memiliki bukti hal tersebut terjadi terhadap etnis Uighur, Kazakh, Kirgistan, Tibet, dan kelompok minoritas lainnya sebagaimana disampaikan seorang antropolog bernama Adrian Zenz yang mempelajari "penganiayaan" terhadap warga Uighur yang menyebut Rencana Pembangunan Lima Tahun Xinjiang termasuk amanat agar "setiap orang yang mampu bekerja harus memperoleh pekerjaan".
Tuduhan itu juga menyebut bahwa pemerintah distrik di Xinjiang telah melakukan mobilisasi warga Uighur atau kelompok etnis lainnya sebanyak 12 juta pada periode 2020-2023 dari total populasi Xinjiang seluruhnya 25 juta. Meski pemerintah Xinjiang menyebut mobilisasi itu adalah sukarela, namun aturan pada 2017 mengatakan bahwa warga yang menolak berpartisipasi dalam program mobilisasi akan ditahan.
Perusahaan-perusahaan yang terkena sanksi mencakup perusahaan kapas, tomat, panel tenaga surya, industri kimia, pertambangan dan juga bio medis.
Tampak dari sanksi tersebut tentu merusak stabilitas rantai industri dan pasokan Xinjiang yang pada gilirannya juga berdampak pada ketersediaan lapangan kerja di Xinjiang karena berkurangnya permintaan produk (untuk ekspor).
Terorisme
Masalah lain di Xinjiang adalah kehadiran kelompok yang disebut sebagai "separatis" dan "ekstrimis agama" dari luar China dengan paham "Pan-Turkisme" dan "Pan-Islamisme" yang menyebut bahwa orang Uighur adalah satu-satunya penguasa Xinjiang.
Dalam pameran "Perjuangan Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang" yang sengaja dibuat pemerintah Xinjiang di Urumqi, ditunjukkan bahwa kelompok tersebut menghasut semua kelompok etnis yang dapat berbicara bahasa Turki dan beragama Islam untuk bergabung dalam menciptakan negara teokratis yang disebut "Turkistan Timur".
Kelompok tersebut menyangkal sejarah China yang merangkul semua kelompok etnis, dan menyerukan "perlawanan terhadap semua kelompok etnis selain Turki" dan berjuang untuk "melawan kaum pagan".
Dari awal abad ke-20 hingga akhir 1940-an, kelompok "Turkistan Timur", dalam upaya untuk memecah dan mengendalikan Xinjiang serta mendirikan negara mereka, mempromosikan dan menyebarkan gagasan "Pan-Turkisme", "Pan-Islamisme" dengan cara kekerasan dan terorisme. Mereka disebut mengorganisasi dan merencanakan serangkaian kegiatan separatis.
Tercatat pada dekade 1940-an dan 1950-an, Ayup Hoshurkary menyebarkan gagasan "Pan-Turkisme" dan "Pan-Islamisme" dan mengobarkan "jihad" (perang suci) saat ia memimpin Madris (madrasah) di kota Hangdi, kabupaten Shache. Pada 1958, saat sekolah itu dilarang, sekitar 4.000 talip (siswa sekolah agama) dari 28 kota dan kabupaten telah dilatih untuk menjadi tulang punggung dalam perencanaan dan pengorganisasian aksi separatis etnis.
Salah satu aksi pertama yang ditunjukkan ke publik oleh pemerintah Xinjiang adalah aksi di terminal bus di kabupaten Huocheng pada 1962 di mana kelompok tersebut menghasut massa untuk menghancurkan peralatan terminal, memukuli staf, dan menyerang personel. Mereka juga merebut senjata api dan menyerang kantor pusat pemerintah Prefektur Yili.
Setelah serangan 11 September 2001, kelompok "Turkistan Timur" meningkatkan kekuatannya dengan jaringan teroris di luar China dan melakukan berbagai aksi, sabotase, kerusakan sehingga menyebabkan ratusan korban jiwa baik masyarakat biasa maupun petugas kepolisian.
Dalam pameran itu pun ditunjukkan panel-panel aksi teroris sejak 1960 hingga 2016 yang mencakup 53 peristiwa terorisme baik berupa bom, penusukan, penabrakan mobil, ancaman ledakan pesawat yang terjadi di berbagai daerah di provinsi Xinjiang bahkan di Beijing dan Guangzhou yang disebut terkait dengan kelompok teroris.