Pendampingan Menyeluruh Kunci Korban KDRT Akses Keadilan dan Pemulihan
Paparan yang disampaikan oleh Anggota Komnas Perempuan Dewi Kanti dalam webinar bertajuk "Hasil Kaji Cepat 20 Tahun Implementasi UU Nomor: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga"--
JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO– Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menekankan pentingnya kesiapan lembaga layanan dalam memberikan pendampingan yang menyeluruh bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai kunci untuk membuka akses keadilan dan pemulihan bagi korban.
"Kesiapan lembaga layanan untuk memberikan pendampingan yang memutus ketergantungan ekonomi, sosial, maupun psikologis korban pada pelaku, serta ketersediaan layanan perlindungan dan dukungan psikososial, adalah kunci utama untuk mengakses keadilan dan pemulihan bagi korban," kata Anggota Komnas Perempuan, Dewi Kanti, dalam webinar yang bertajuk "Hasil Kaji Cepat 20 Tahun Implementasi UU Nomor: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga" di Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Dewi Kanti juga menyoroti sejumlah tantangan dalam penanganan kasus KDRT, seperti keterbatasan kapasitas aparat penegak hukum dan cara pandang masyarakat terhadap korban.
"Ketersediaan perspektif aparat, sarana, prasarana, dan anggaran yang memadai, serta budaya masyarakat yang masih sering menstigma korban, menjadi hambatan besar dalam penyelesaian kasus KDRT," jelasnya.
Selain itu, Dewi Kanti juga mencatat adanya perbedaan interpretasi terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang berujung pada penolakan laporan, penundaan, atau penyelesaian yang berlarut-larut. Hal ini membuat pemulihan bagi korban sering kali terhambat.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyampaikan bahwa berdasarkan catatan pihaknya, kekerasan dalam rumah tangga menempati posisi teratas sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, istri menjadi korban yang paling banyak dilaporkan.
"Dalam hitungan kami, setiap jamnya, setidaknya ada tiga perempuan sebagai istri yang menjadi korban kekerasan dari pasangan mereka," ujar Andy Yentriyani.
Di sisi lain, Andy juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah berusia 20 tahun sejak diundangkan.
Ia menambahkan bahwa hukum ini tidak hanya mengamanatkan pemidanaan bagi pelaku, tetapi juga pemulihan bagi korban dan jaminan agar kekerasan tidak terulang kembali.
"Saat ini kita sudah menginjak 20 tahun sejak UU PKDRT diterbitkan, yang bertujuan untuk menghentikan kekerasan dalam rumah tangga, memberikan perlindungan bagi korban, serta memastikan keadilan dan pemulihan," pungkas Andy Yentriyani. (*)