Lari dari Kenyataan
M. Rihdo Izwan--
Oleh: M. Rihdo Izwan
Dgarrr ..., bunyi pintu kamarku yang kubanting dengan keras. Aku lalu merebahkan tubuh di atas ranjang yang empuk, mengambil bantal dan guling untuk menutupi wajah sedihku ini.
Aku menangis tanpa suara, tapi air mata jatuh perlahan semakin banyak mengalir melewati pipiku. Kenapa aku menangis? Menangisi hal yang seharusnya tidak kutangisi. Mengapa nasibku begini? Tidak seperti anak-anak seusiaku di luar sana, ucap hati kecilku.
Fajar pun tiba, matahari melemparkan cahaya silaunya ke jendela kamar, yang membuatku terbangun. Aku selalu berimajinasi bagaimana kalau sekarang keluargaku baik-baik saja. Begitu yang aku pikirkan sebelum dan setelah aku tidur.
Aku mulai beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Kulihat cermin, tampak sosok yang sedang sedih dengan mata merah membengkak. Sosok itu tersenyum melihat keadaan yang sekarang kujalani setiap harinya. Ada rasa sabar dan pilu hati yang tertahan atas kekacauan keluargaku.
"Andai mimpiku semalam nyata dan terjadi hari ini," ucapku tersenyum.
Kemudian aku pun bergegas mengenakan seragam sekolah dengan rapi, dan siap untuk berangkat ke sekolah. Tanpa berpamitan dengan kedua orang tuaku, aku berlari menuju pintu rumah dan membantingnya dengan keras. Aku berlari ke sekolah dengan perut kosong, tanpa sarapan sedikit pun. Seperti hari-hari biasanya, dengan rasa sangat kecewa kepada orang tuaku.
Dalam perjalanan ke sekolah, aku teringat akan kejadian semalam. Malam itu sama seperti malam-malam biasanya, malam yang buruk. Aku sangat ingin hidup sendiri dan memiliki tempat berteduh sendiri. Tapi bagaimana aku harus berbuat? Sedangkan aku masih sekolah, masih dibiayai pula oleh orang tua. Aku pernah berpikir, apa aku putus sekolah saja? Tapi jika aku putus sekolah, bagaimana dengan mimpi-mimpi di setiap tidurku akan menjadi nyata?
Hari demi hari aku menabung untuk membeli sesuatu yang sangat aku inginkan. Rela tidak jajan dan membawa bekal sendiri dari rumah demi semua yang aku inginkan. Terkadang juga di waktu-waktu panasnya masalah di rumah, aku merasa sangat tidak nyaman dan ingin melarikan diri dari semua masalah itu. Tapi apakah ada orang yang mau menampung anak yang membebani seperti aku?
Tiba-tiba air bening jatuh perlahan dari mata sembabku, dan tak terasa aku sudah di depan gerbang sekolah. Segera aku menuju kelas sambil mengusap air mata. Sampai di kelas, aku langsung menundukkan kepala dan kedua tanganku menjadi penahan kepalaku di atas meja. Teman-teman melihat padaku, dan aku merasa sangat malu.
"Ridho, kamu kenapa? Ada masalah? Sini cerita!” kata sahabatku, Rifky.
"Tidak ada apa-apa, Ki, biasalah. Hehe,” jawabku sambil tertawa, meyakinkan orang-orang bahwa aku tidak sedang sedih.
Semua sahabatku sudah tahu tentang masalah keluargaku. Rifky adalah orang yang sangat dekat denganku, yang selalu mendengarkan keluh kesah yang beribu-ribu kali kusampaikan padanya.
Bring, bring, bring .... Bunyi bel menunjukkan pelajaran akan dimulai, guruku memasuki kelas. Selama pelajaran berlangsung, aku sangat tidak fokus pada apa yang dijelaskan oleh guruku. Masih terbayang-bayang ucapan orang tuaku tadi malam. Pikiranku sangat jauh, yang membuatku merenung.