Mahir Berargumentasi, Tokoh Pers yang Tak Tergantikan
Atmakusumah Astraatmadja di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (15/11/2016). --
"Jika tidak setuju dengan satu pendapat, maka harus dibalas dengan pendapat lain. Begitu pun bila tidak setuju dengan kata-kata atau tulisan, maka harus dibalas dengan kata-kata atau tulisan pula. Bukan dibalas dengan senjata, apalagi kekuasaan membabi buta," kata Atmakusumah dalam satu argumennya di DPR, saat membahas UU Pers untuk menentang pembredelan.
Ia lantas mendapat mandat kalangan tokoh pers nasional menjadi Ketua Dewan Pers 2000—2003, yang notabene menjadi Dewan Pers Independen hasil Gerakan Reformasi 1998. Oleh karena, Dewan Pers sebelumnya dibentuk berdasarkan UU Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (UU Pokok Pers) yang langsung diketuai Menteri Penerangan.
“Pak Atma sangat militan memperjuangkan UU Pers hasil Gerakan Reformasi. Sampai ada sebutan dari Ibu Aisyah Amini dari Komisi I DPR, saat itu, bahwa Atmakusumah seperti pendekar. Mungkin karena semua orang di forum tersebut tahu sosoknya kelahiran tanah pendekar atau jawara di Banten,” kata Komisaris Trans TV dan Trans 7 Ishadi Soetopo Kartosapoetro.
Ishadi, saat pembahasan Rancangan UU Pers 1998 menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film (RTF) di Departemen Penerangan, sehingga sekaligus menjadi wakil pemerintah.
Keberadaan Ishadi, saat itu, terlihat lebih memuluskan berlakunya UU Pers lantaran berlatar belakang wartawan karir di dunia televisi yang dekat dengan semua kalangan pers maupun politisi DPR.
Ia pun mengenang sosok Atmakusumah yang tangguh dalam menyampaikan argumentasi mengenai kemerdekaan pers dengan berbagai referensi tatanan pers global.
Kiprah Atmakusumah untuk kemerdekaan pers membuatnya menjadi mitra diskusi Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), termasuk menjadi juri Anugerah Jurnalistik Guillermo Cano.
Penghargaan itu dinamakan UNESCO-Guillermo Cano World Press Freedom Prize, diselenggarakan UNESCO dan Yayasan Guillermo Cano melengkapinya dengan hadiah senilai 25.000 dolar Amerika Serikat (AS). Guillermo Cano adalah pemilik surat kabar di Kolombia, Amerika Selatan, yang terbunuh pada 1987 karena mengutuk kegiatan kartel obat bius yang berpengaruh kuat di negerinya.
Aksi nyata Atmakusumah untuk kemerdekaan pers nasional maupun global mengantarkannya meraih Anugerah Ramon Magsaysay pada 31 Agustus 2000 untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif dari The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina.
Ia juga menerima Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One/PCNO) dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2010, Medali Emas Kemerdekaan Pers HPN 2011, dan Anugerah Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) Dewan Pers 2023.
Parni Hadi, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA (1998—2000) dan Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI, 2005—2010), menilai Atmakusumah termasuk sosok terbaik (the best) dalam dunia kewartawanan Indonesia.
“He is the best, terutama dalam memperjuangkan kemerdekaan pers menjelang, saat, dan pasca-Gerakan Reformasi. Pak Atma juga dikenal sosok komplit sebagai wartawan pers cetak, pembawa acara, maupun analis berita radio, pengajar, sekaligus tokoh hubungan masyarakat di lembaga negara asing untuk membela kepentingan kemanusiaan,” ujar pendiri Dompet Dhuafa tersebut.
Komentar Parni sejatinya merujuk ke pengalaman Atmakusumah yang antara lain pernah berkarir sebagai komentator isu dalam negeri dan luar negeri di RRI, Radio Australia (ABC) di Melbourne, Radio Jerman (Deutsche Welle), asisten pers dan spesialis di Layanan Informasi AS (United States Information Service/USIS, 1974—1992).
Anggota Dewan Pers 2007—2010 Abdullah Alamudi yang juga pernah bekerja di USIS pada 1988—2000 berpendapat, “Bung Atmakusumah sosok pekerja keras sekaligus cerdas, dan sangat mahir berargumentasi karena kaya akan referensi bacaan maupun pengalaman pribadinya. Beliau tokoh yang tidak dapat digantikan, namun akan lebih baik semangat dan berbagai gagasannya dilanjutkan.”
Apalagi, Pak Atma juga dikenal telah menulis ratusan kolom opini yang sebagian besar mencermati kemerdekaan pers nasional, regional, dan global untuk berbagai media massa di Indonesia dan mancanegara.