Mahir Berargumentasi, Tokoh Pers yang Tak Tergantikan

Atmakusumah Astraatmadja di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (15/11/2016). --

In Memoriam,  Atmakusumah Sang Pendekar Kemerdekaan Pers

"KITA tidak boleh lelah dan harus tetap waspada menjaga kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers adalah salah satu cermin dari kemerdekaan bangsa dan negara dalam arti sesungguhnya."

 

TOKOH pers Atmakusumah Astraatmadja seringkali menitipkan pesan tersebut di atas, manakala berdiskusi dengan kalangan wartawan. Salah satunya, saat Ketua Dewan Pers 2000—2003 tersebut diundang berdiskusi di Kantor Berita Timor Leste TATOLI pada 12 Juni 2019.

Lahir pada 20 Oktober 1938 di Labuan, Banten, Atmakusumah Astraatmadja (86) pada Kamis pukul 13.05 WIB wafat, setelah beberapa lama mendapat perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta.

Sosok Atmakusumah sangat dikenal pula di Timor Leste lantaran sebagian besar wartawannya adalah alumni Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) semasa negeri itu masih menjadi bagian dari Republik Indonesia maupun setelah merdeka.

LPDS adalah pusat pendidikan dan pelatihan wartawan yang didirikan Dewan Pers pada 23 Juli 1988, dan Pak Atma –demikian sapaan akrabnya– menjadi direktur eksekutif pada 1994—2002.

Kemerdekaan pers menjadi lahan perjuangan sekaligus pengabdiannya. Ia mengawali karir sebagai wartawan harian Indonesia Raya yang didirikan Mochtar Lubis (1922—2004) medio 1950-an hingga tutup pada 1958. Karir tersebut dilanjutkannya sebagai redaktur pelaksana saat Indonesia Raya terbit kembali di tahun 1968, hingga dibredel pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto pada 1974.

“Pembredelan pers itu sangat memberatkan. Saya mengalami langsung di harian Indonesia Raya. Wartawan dan pengawainya tiba-tiba menganggur, dan hak masyarakat pun untuk memperoleh informasi sangat dibatasi,” ujarnya.

Bahkan, wartawan Pers Biro Indonesia (Press Indonesia Agency/PIA) tahun 1960 yang kemudian melebur ke Kantor Berita ANTARA pada 1962 itu mengemukakan, ada ketegangan dan ketakutan publik kalau pers dibungkam.

Hal itu dirasakan pula saat Pak Atma menjadi wakil ketua, kemudian ketua Serikat Sekerja ANTARA pada 1966—1968 gegara belasan wartawannya dipecat ataupun ditangkap aparat keamanan lantaran dituduh pro-komunis dan anti-tentara.

Tatkala harian Indonesia Raya dibredel pada 1974 juga berakibat karyawan dan wartawannya tercerai berai. Pak Atma bersama sejumlah rekan kerjanya sempat mendapat mandat dari Mochtar Lubis selaku pemilik koran tersebut untuk melacak kembali mereka yang pernah bekerja di koran tersebut untuk mendapatkan pesangon.

“Saat dibredel, hampir semua wartawan dan karyawan Indonesia Raya juga bubar begitu saja. Beberapa tahun kemudian Bung Mochtar dapat menjual sejumlah aset untuk membayar pesangon yang tertunda dibayarkan. Kami sempat memasang iklan di sejumlah harian nasional dan daerah untuk melacak kembali teman-teman yang sempat hilang kontak,” katanya, dalam satu percakapan bersama sejumlah pengajar di LPDS.

Semangat Atmakusumah untuk kemerdekaan pers kian terlihat saat menjadi salah seorang di garda terdepan dalam proses perumusan dan pengesahan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan