Era Baru Efisiensi Penyelenggaraan Haji
IRVAN MAULANA--
Oleh : IRVAN MAULANA
PADA 2025 pemerintah mengusulkan rata-rata biaya haji atau biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) jemaah Indonesia pada 1446 H/2025 M sejumlah Rp 93.389.684,99 (Rp 93,3 juta). Perinciannya, biaya perjalanan ibadah haji (bipih) 2025 yang harus dibayarkan setiap jemaah Rp 65.372.779,49 atau 70,02 persen dari total BPIH. Pada 2024, bipih hanya Rp 56 juta atau 59,95 persen dari total biaya.
Sebaliknya, nilai manfaat yang disubsidi dari pengelolaan dana haji oleh pemerintah justru diusulkan turun dari Rp 37,4 juta (40,05 persen) pada 2024 menjadi Rp 28,02 juta (29,98 persen) pada 2025. Menurun dari segi nominal maupun persentasenya. Implikasinya, beban biaya yang harus ditanggung jemaah haji akan meningkat secara langsung. Pertanyaannya, masihkah mungkin biaya yang ditanggung jemaah bisa turun?
Pada dasarnya, usulan BPIH 2025 sejumlah Rp 93,3 juta itu memang turun 0,11 persen daripada BPIH 2024 (Rp 93,4 juta). Meskipun nominal BPIH 2025 sedikit lebih rendah, proporsi pembiayaan antara biaya perjalanan ibadah haji (bipih) yang dibayarkan langsung oleh jemaah dan nilai manfaat yang disubsidi pemerintah bergeser cukup tajam.
Pendapatan nilai manfaat dana penyelenggaraan ibadah haji (PIH) fluktuatif selama tiga tahun terakhir. Pada 2021, pendapatan mencapai 142,80 persen, jauh melampaui beban penyelenggaraan. Kondisi itu mencerminkan pengelolaan dana yang sangat optimal. Namun, pada 2022, pendapatan turun signifikan menjadi 81,93 persen. Sangat mungkin hal tersebut disebabkan kondisi ekonomi global, volatilitas pasar investasi syariah, serta dampak pandemi Covid-19.
Pemulihan mulai terlihat pada 2023. Pendapatan meningkat menjadi 112,78 persen. Menandakan bahwa strategi investasi mulai efektif meski belum kembali ke tingkat optimal seperti pada 2021. Fluktuasi itu menunjukkan ketergantungan besar pada hasil investasi yang rentan terhadap dinamika ekonomi global. Terutama pada instrumen berbasis syariah dan perubahan nilai tukar.
Perubahan tersebut mengindikasikan adanya pergeseran beban pembiayaan yang lebih besar kepada jemaah jika dibandingkan dengan subsidi dari pemerintah. Kebijakan itu bisa menimbulkan sejumlah implikasi. Terutama bagi calon jemaah dengan kondisi keuangan terbatas.
Peningkatan bipih hingga 16,74 persen (Rp 9,37 juta) sangat mungkin memengaruhi kemampuan masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji. Selain itu, penurunan nilai manfaat yang disubsidi dari Rp 37,4 juta menjadi Rp 28,02 juta menunjukkan penurunan efektivitas pengelolaan dana haji yang bersumber dari investasi syariah dan instrumen keuangan lainnya.
Evaluasi Pengelolaan
Untuk itu, efektivitas model pengelolaan ini patut dievaluasi. Terutama jika dibandingkan dengan keberhasilan sistem pengelolaan dana haji di Malaysia. Data satu dekade terakhir menunjukkan, BPIH Indonesia terus berfluktuasi yang dipengaruhi ketidakpastian nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Sebaliknya, Malaysia berhasil mempertahankan biaya haji yang stabil, yakni RM 9.980, tanpa perubahan berarti selama 9 tahun terakhir. Ketika dikonversi ke rupiah, rata-rata biaya haji di Malaysia lebih murah daripada Indonesia. Stabilitas itu tidak lepas dari pendekatan bisnis yang diterapkan Tabung Haji Malaysia sejak 1963, yang menjadikannya model terbaik dalam mengelola dana haji.
Malaysia bahkan bisa melaksanakan kontrak perjanjian dengan penyedia layanan di Arab Saudi sejak 3-5 tahun sebelumnya. Sementara kontrak perjanjian Indonesia dengan penyedia layanan di Saudi dilakukan ketika tahun berjalan. Tabung Haji Malaysia mengintegrasikan dana haji dalam berbagai investasi strategis.
Termasuk sektor perbankan syariah melalui kepemilikan saham di Bank Islam Malaysia serta investasi di teknologi, perkebunan, realestat, konstruksi, serta pasar modal.