MELIHAT ‘ORANG KOEBOE JAMBI' DALAM PUBLIKASI ERA KOLONIAL : SEBUAH TRANSFORMASI PERSPEKTIF HUMANISME BELANDA
Chairul Wahyudi, Guru Sejarah MAN Insan Cendekia Jambi--
Oleh : Chairul Wahyudi*
KEDATANGAN Bangsa Belanda ke Nusantara telah tercatat sejak abad pertengahan ke XVII. Keberadaan Belanda di Nusantara mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan, seperti pendidikan, sosial, budaya hingga politik. Walau kedatangan bangsa Belanda tidak semuanya disambut baik, namun di beberapa tempat akhirnya bangsa Eropa Barat ini diterima, atau setidaknya membangun interaksi dengan masyarakat lokal seperti di Banten, Sulawesi hingga ke Sumatera.
Perjalanan bangsa Belanda di Sumatera tercatat baik dalam buku Midden Sumatra : Reizen en Onderzoekingen der Sumatra-Expeditie yang disampaikan oleh Pieter Johannes Veth, seorang profesor bidang geografi dan etnologi dari organisasi Perkumpulan Ahli Geografi Kerajaan Belanda (KNAG). Buku setebal 432 halaman ini memuat banyak informasi mengenai lanskap dan sendi kehidupan masyarakat Sumatera bagian tengah.
Agaknya Veth cukup tertarik menuliskan mengenai Djambi dalam buku ekspedisi yang dilakukan pada 1877-1879 ini. Kata Djambi disebutkan lebih dari 208 buah, sedangkan Palembang hanya terdeteksi sebanyak 34 kata. Bahkan lebih dari 40 halaman dalam buku ini membahas mengenai keadaan Jambi pada dekade akhir abad ke XIX. Dalam ekspedisi ini, Belanda menemukan bahwa di mayoritas suku yang ada Sumatra bagian Tengah adalah Melayu, termasuk di Djambi. Melayu Jambi juga hidup berdampingan dengan Orang Koeboe yang mereka temui tinggal di pedalaman hutan Jambi. Veth lumayan keras untuk menggambarkan Orang Koeboe dengan sebutan suku liar, namun saat itu mereka sudah mulai berinteraksi dengan orang luar bahkan sampai melakukan pernikahan antara Suku Maleiers dan Orang Koeboe. Penulis menggambarkan bahwa Orang Koeboe sudah mulai beradaptasi dari segi makan dan pakaian seperti orang Maleiers dengan narasi “...hun wilden staat laten varen…voeding en kleeding betreft”
Pada 12 Agustus 1885, salah satu anggota Ekspedisi Sumatra yaitu Johannes François Snelleman mempublikasikan khusus mengenai Orang Koeboe di Deli Courant. Snell menganggap pada publikasi Veth itu banyak yang bersifat karangan mengenai Orang Koeboe, Snell menganggap itu sebagai phantasie (angan-angan). Akhirnya Snell menuju ke Sarolangoen dan meminta beberapa Orang Koeboe ke luar hutan untuk diwawancarai terkait kehidupan mereka. Saat 4 laki-laki, 3 perempuan dan beberapa anak-anak bersedia keluar untuk bertemu Snell dan tim, ia merasa kasihan dengan kaki kurus, tubuh terlihat bersisik dan anak-anak mereka yang terlihat lemah.
Akhirnya, Snell memutuskan untuk mengunjungi mereka di dalam hutan dengan mendirikan camp di tepi sungai agar lebih mengenal kehidupan mereka secara detail. Tulisan Snell menempatkan Orang Koeboe sebagai kaum yang beradab, walau hanya melihat aktifitas kecil mereka seperti ayunan dari akar pohon, tongkat kayu yang berukir dan Snell menganggapnya sebuah karya seni yang artistik serta rumah Orang Koeboe yang tidak lebih tinggi dari manusia dianggap Snell sebagai kaum yang tidak banyak menuntut dan selalu bersyukur.
Publikasi sebelum 1901 masih banyak yang terkesan tidak menempatkan Orang Koeboe sebagai subjek utuh seorang manusia. Suku ini dianggap suku liar, primitif dan memiliki kehidupan berbeda dengan kehidupan Suku Maleiers, bahkan Orang Eropa. Laporan mengenai Orang Koeboe di Jambi yang dianggap rendah karena memakan buaya dan ular, dipertanyakan oleh Dr. M. C. Kan dalam bukunya yang berjudul Boven-Djambi Korintji-Vallei tahun 1876. Pertanyaan ini muncul akibat laporan lainnya yaitu yang disampaikan oleh Charles Adrian Ophuijsen seorang Sosiolog yang telah berkeliling mengenal bahasa suku-suku di Sumatera. Sebenarnya, Kan menantikan laporan dari Ophuijsen selanjutnya, sekaligus menanyakan dengan narasi “...de meeste belangstelling naar verdere berichten te doen uitzien…” yang bermakna kami sangat menantikan laporan selanjutnya.
Menurut Kan, Orang Koeboe tidak jahat, tidak kejam dan pemalu. Interpretasi ini menunjukkan bagaimana masyarakat marjinal ini bersahabat dengan alam dengan cara memagari diri dari penetrasi orang luar. Bahkan, M. C. Kan menggambarkan jika ada kapal uap yang datang, mereka melarikan diri jauh ke dalam hutan lagi. “...niet slecht of wreed…zoo schuw…”. Penulis menambahkan kata zoo sebagai penekanan untuk Orang Koeboe yang bukan hanya pemalu, tapi sangat pemalu dengan respon menjauh dari orang yang datang kepada mereka.
Gambaran mengenai Orang Koeboe yang baik dan tidak kejam sejalan dengan apa yang diterbitkan oleh De Sumatra Postpada 1 Juni 1932. Visual dari Orang Koeboe digambarkan sebagai masyarakat yang memiliki moral dan adat istiadat seperti diksi yang digunakan dalam judul artikel ini yaitu Hun Zeden en Gewoonten. Mereka berbeda dari suku lain yang tidak melakukan ritual dan adat dalam proses perkawinan sehingga persetubuhan dilakukan dengan bebas. Orang Koeboe melakukan proses pernikahan yang megah dan adat yang kompleks dalam hal ini. Pesta pernikahan dilaksanakan dengan mengakomodir kearifan lokal yang biasanya digelar pada musim buah, karena jamuan makan pada pesta ini mayoritas adalah buah hasil hutan.
Artikel ini juga menjelaskan penggunaan panggilan “Sanak” kepada Orang Koeboe yang sampai saat ini masih digunakan di daerah Sarolangun dan Batanghari. Saat hendak mengunjungi Orang Koeboe, kita dapat memanggil mereka dengan sapaan “Sanak” dari jarak sekitar 10-20 meter dari rumah mereka, jika mereka mendekat maka kita diperbolehkan berinteraksi dengan mereka. Sebuah nilai luhur untuk menjaga dan memproteksi diri dan komunitas dari pengaruh masyarakat luar. Selain membatasi pengaruh, hal ini dilakukan untuk menjaga anggota komunitas agar terhindar dari penyakit yang dibawa oleh orang luar. Jika orang luar terdeteksi memiliki penyakit, maka mereka harus melakukan isolasi mandiri hingga sembuh sebelum mereka berinteraksi dengan seluruh anggota komunitas Orang Koeboe tersebut.
Artikel ini juga memposisikan mereka sebagai sebuah komunitas yang walaupun diwakilkan dengan diksi primitif, namun penjelasan berikutnya menunjukkan bahwa Orang Koeboe memiliki nilai luhur yang tinggi. Artikel ini tidak memberi kesan negatif pada kehidupan mereka yang tidak mengenal pertanian, penggunaan tjawat (cawat- pakaian orang Rimba saat ini -red), ataupun cara berburu mereka yang dianggap masih sangat tradisional karena tidak menggunakan busur dan panah. Gambaran positif selanjutnya yang menempatkan Orang Koeboe terlihat luhur adalah dengan menampilkan alasan-alasan mengapa jumlah mereka tidak dapat dihitung pasti karena kehidupan yang nomaden/melangun.
Ada 4 alasan mereka meninggalkan daerah yang ditinggalinya yaitu 1) hampir atau tidak ada lagi hewan buruan, 2) terdapat banyak orang yang sakit dalam suku tersebut, 3) jika terdapat kematian dan 4) jika terdapat hewan buas yang mengganggu mereka. Alasan Melangun diatas masih diterapkan sampai saat ini oleh Orang Rimba yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi seperti di kelompok Kedundung Muda pimpinan Tumenggung Grip, Tengganai Besemen dan Depati Njalo. Ritual kematian Orang Koeboe yang tidak menguburkan orang yang meninggal cukup dijelaskan dengan baik dalam artikel ini dan hal tersebut masih diterapkan hingga saat ini dengan konsep Tana Pusaron.
Interaksi bersama masyarakat luar dilakukan juga melalui proses perdagangan. Artikel ini menyebutkan bahwa Orang Koeboe sangat jujur, tidak menipu dan hanya menjual hasil hutan dengan kualitas terbaik. Mereka eerlijke (jujur) dan zullen bedriegen (tidak menipu). Pada bagian akhir, penulis memunculkan sisi kemampuan bersosialisasi yang tinggi dengan gambaran bahwa Orang Koeboe ketika ditawari sesuatu yang tergeletak, maka mereka tidak akan mengambilnya. Mereka akan menerima apa yang orang lain berikan kepadanya secara langsung.
Konsep kepemilikan barang yang diberikan orang luar kepada Orang Koeboe adalah ketika telah menyentuh jari mereka. Sehingga, jika orang luar akan memberikan barang yang banyak untuk dibagikan kepada Orang Kubu lainnya, maka cara yang paling tepat adalah dengan membagikan secara individu per individu. Jika kita menitipkan ke satu Orang Koeboe maka mereka tidak akan membagikannya, karena mereka menganggap barang itu milik ia sepenuhnya. Alasan mengapa mereka tidak ingin mengambil barang yang diletakkan tanpa dibagikan karena mereka takut mengotori barang lainnya ketika mengambil menggunakan jari mereka sendiri. Dalam artikel ini contoh yang diberikan adalah pemberian rokok.