Harus Berjalan Kaki 10 Jam, Gaji Pertama Hanya Rp 500 Ribu/Bulan

PENGGIAT PENDIDIKAN: Dul Latif, penggiat pendidikan.--

Imbalan uang jelas bukan penggerak utama jiwa Dul untuk mengajar di daerah pedalaman itu. Gaji pertama menjadi guru Rp500 ribu per bulan selama 2019. Sejak 2020--2021 naik Rp250 ribu menjadi Rp750 ribu dan pada 2022--2023 naik menjadi Rp1 juta per bulan. 

Status Dul Latif kini telah tercatat sebagai guru honor daerah Kabupaten Kotabaru sejak 2023 dengan gaji Rp1 juta per bulan dan beban kerja mengajar di tiga kelas.

Demi efisiensi waktu dalam mengajar, Dul menyekat bangunan sekolah itu menjadi tiga ruang kelas, yakni untuk kelas satu, dua, dan kelas tiga, dengan jumlah 17 siswa.

Pola mengajarnya secara bersamaan. Setelah memberikan materi di kelas satu, selanjutnya Dul memberi materi pada kelas berikutnya hingga jam pelajaran selesai. Itu dilakukan sejak dia menjadi guru hingga saat ini karena keterbatasan tenaga pengajar di SD itu.

Dalam proses belajar mengajar memang ada keterbatasan media di sekolah itu, misalnya, kurang lengkapnya sarana dan prasarana seperti buku buku, alat peraga, dan fasilitas lainnya. Namun, hal itu tidak melunturkan semangat Dul memintarkan anak-anak pedalaman.

Butuh Sentuhan

Dul Latif, mewakili masyarakat pedalaman, berharap segera ada sentuhan dari pemerintah daerah kepada masyarakat yang tinggal di pedalaman Gunung Meratus, khususnya masyarakat Dusun Juhubincatan dan Dusun Manggun, Desa Muara Urie.

"Kami berharap Bupati Kotabaru dapat membuka akses jalan dari RT 2 Dusun Juhubincatan menuju RT 4 Dusun Manggun, Desa Muara Urie, agar masyarakat setempat tidak terisolasi" ujar Dul Latif.

Selama ini belum ada jalan yang memadai untuk dilintasi kendaraan bermotor. Warga setempat hanya mengandalkan jalan setapak kaki manusia. Jalan setapak itu tidak mungkin  dilalui kendaraan bermotor.

Jadi, warga Dusun Juhubincatan dan Dusun Manggun kalau ke kota kecamatan, misalnya, memerlukan berhari-hari mengingat lamanya waktu di perjalanan.

Keterbatasan akses menuju Dusun Manggun juga ditambah dengan tidak tersedianya jembatan kokoh yang menghubungkan dua dusun tersebut menuju desa induk karena terpisah  oleh sungai.

Lebar sungai itu kurang lebih mencapai 50 meter. Agar masyarakat lebih mudah melintas, warga setempat membangun jembatan darurat dari bambu yang diikat menggunakan kawat baja.

Masyarakat yang tinggal di sana mayoritas pekerjaannya sebagai pekebun. Kebun yang mereka kelola berupa tanaman kemiri, kayu manis, dan cokelat. Hasilnya dipikul ke desa induk yang "dekat" dengan Kota Kecamatan Hampang untuk dijual atau ditukar dengan kebutuhan pokok lainnya.

Warga Dusun Juhubincatan dan Manggu mengharapkan perhatian pemerintah dapat merealisasikan pembangunan jalan di kampung itu.

Pasalnya, sebagian besar warga setempat mulai tidak mampu lagi membawa hasil kebun untuk dijual ke kota kecamatan dengan cara dipikul karena faktor usia.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan