Air Mengalir Setinggi Atap Bersama Akar dan Batang Pohon Besar

BANJIR LAHARI DINGIN: Onggokan batu besar yang terbawa dari lereng gunung oleh derasnya banjir lahar dingin Gunung Marapi yang melanda Desa Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (16/5/2024). FOTO: ANTARA/M RIEZKO BIMA E--

Eko MHD Effendi, adalah salah satu warga Desa Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang menjadi korban bencana banjir lahar dingin Gunung Marapi, Sabtu, 11 Mei 2024.

Menjaga keselamatan keluarga, tentu menjadi kewajiban bersama. Begitu pula bagi Eko. Malam itu, tepat pukul 22.30 WIB tangisan anak dan rasa curiga dengan hujan yang tak henti mengguyur sedari siang telah meneguhkan hatinya untuk keluar dari rumah.

Hanya bermodal senter tanpa payung dan sandal, ia pun berlari melihat langsung aliran sungai yang berada di seberang depan rumahnya.

Air Sungai Batabuah yang biasanya jernih, hingga terkadang bagian dasar bisa tembus pandang, malam itu berubah menjadi sangat keruh keabu-abuan, tingginya pun hingga nyaris melampaui badan Jembatan Surau Kasiak tempatnya berdiri.

Rasa curiganya pun benar, sesaat berbalik badan, ia melihat gerombolan air datang menghampiri desa dari turunan Jalan Raya Canduang. “Banjiiir...!,” teriaknya dengan kencang sambil kembali ke rumah menjemput istri dan sang buah hati.

Peristiwa tersebut sama persis dengan apa yang terjadi pada pertengahan bulan Februari lalu, namun, banjir kali ini lebih besar karena air datang dari arah jalan tanjakan yang notabene lebih tinggi dari tempat rumahnya berada.

Melihat tanda alam tersebut, Eko berniat mengevakuasi diri dengan motor sespannya yang tersimpan di teras rumah. Namun, belum sempat motor ditarik keluar, air sudah semakin meluap dari segala sisi membawa serta bongkahan kayu.

Kondisi yang tak kalah mengejutkannya lagi ketika tahu cara mereka menyelamatkan diri.

Dalam kondisi yang terdesak pasangan suami istri ini mampu memanjat dinding beton vertikal nyaris setinggi tiga meter, untuk bisa berlindung dibalik tandon air beton rumah tetangga.

Di atas pijakan beton berdiameter 2x1 meter itu mereka bertiga duduk jongkok sambil berpelukan, melafalkan doa-doa selamat dengan tubuh yang basah kuyub.

Eko mengaku bahwa melihat langsung bagaimana air mengalir deras setinggi atap, membawa serta akar-akar dan batang pohon besar yang tumbang. Bahkan, turut menyaksikan bagaimana rumah pamannya yang berseberangan dengan tempat mereka berlindung itu hanyut.

Tak kurang dari setengah jam deburan air itu menghancurkan nagari -- sebutan desa di Sumatera Barat-- mereka.

Linangan air mata sang istri yang ada dalam rangkulannya kian mengalir deras, kala empat hingga lima buah batu besar kokoh bersandar di teras rumah kontrakan mereka dan meremukkan mobil bak terbuka yang menjadi alat mata pencaharian untuk menghidupi keluarga selama ini.

Sepeda motor yang peot, pakaian berlumuran lumpur, perabotan rumah tangga, kompor gas, dan sebuah kasur pegas dengan kain pembungkus yang kusam adalah harta mereka yang tersisa. Selain itu, semua rusak dan hilang terbawa arus banjir bandang, termasuk surat-surat berharga.

“Tapi saya sangat bersyukur dengan Yang Maha Kuasa, anak dan istri saya selamat. Berarti Allah memang percaya menitipkan mereka kepada saya,” kata dia.

Tag
Share