"Menyenggol" Kelompok yang Mengeruk SDA di Tanah Papua, Tanpa Memikirkan Nasib Masyarakat
PERTUNJUKAN: Potongan adegan dalam pementasan teater “Matahari Papua” oleh Teater Koma bersama Bakti Budaya Djarum Foundation di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Kamis (6/6/2024) malam. FOTO: (ANTARA/Vinny Shoffa Salma) --
Dengan cerdas, mendiang Norbertus Riantiarno meramu dialog dalam “Matahari Papua” agar tidak terkesan menjatuhkan sistem pemerintahan, tetapi tetap dimengerti oleh penonton.
Misalnya, simbol naga yang dianalogikan sebagai penguasa, atau negara barat yang dianalogikan sebagai bangsa penjajah. Tidak sampai di situ, ada beberapa dialog satir yang dilontarkan para pemain dan cukup tajam dalam mengkritik kondisi politik-sosial di Indonesia, saat ini, khususnya di tanah Papua.
Menariknya, momen pementasan lakon “Matahari Papua” cukup sesuai dengan banyaknya ketidakadilan yang terjadi di dunia.
Melalui pementasan lakon ini, diharapkan masyarakat dapat ikut menyuarakan ketidakadilan tersebut dan mendukung pihak-pihak yang sudah seharusnya mendapat keadilan.
Akting mengesankan
Sepak terjang Teater Koma di kancah dunia seni dan pementasan teater Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi.
Pengalaman dan kecakapan para pemain berpadu dengan baik dalam mementaskan lakon “Matahari Papua”, ditambah kualitas naskah yang baik dan solidnya tim produksi berhasil membuat lakon ini menjadi istimewa.