Hidup Berdamai Dengan Kondisi Hutan atau Melebur Dengan Masyarakat Umum

Minggu 06 Oct 2024 - 13:28 WIB
Editor : Adriansyah

Dia menyakini menetap di luar kawasan hutan adalah alasan supaya mereka tidak bersinggungan dengan perusahaan pemegang konsesi. Namun, justru setelah meninggalkan hutan maka akan semakin banyak lingkungan tempat tinggal mereka rusak karena beralih fungsi.Oleh karena itu, mereka harus tetap berada di hutan, menjaganya supaya tidak terjadi kerusakan yang lebih masif karena akan berdampak buruk pada manusia, secara khusus bagi generasi kelompoknya.

Selama berada di hutan, SAD terus bergerak mengikuti keberadaan hewan buruan seperti babi, unggas, dan umbi-umbian yang menjadi makanan pokok mereka, termasuk tanaman obat dan aliran sungai sebagai sumber mata air.

Hutan juga sebagai media mereka menjalankan sebuah tradisi untuk menenangkan diri ketika ada anggota yang sakit ataupun meninggal dunia. Tradisi ini dikenal dengan istilah melangun. Seperti yang saat ini sedang mereka lakukan.

Dalam satu bulan terakhir ada tiga anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Dua orang meninggal karena sakit demam yang tinggi dan satu disambar petir. Karenanya, mereka harus melangun dengan cara berjalan belasan kilometer masuk ke dalam hutan untuk menghilangkan kesedihan karena telah kehilangan orang terkasih.

Ngelembo menegaskan tradisi itu tidak akan mereka tinggalkan. Meski tak jarang pula anggota kelompok mereka harus berhadapan dengan hukum karena bermukim di areal konsesi hingga diduga mencuri dan merusak kelapa sawit milik perusahaan yang mengepung ruang gerak SAD di Batanghari.

“Bagaimanapun ada hak kami sebagai masyarakat adat atas apa pun yang ada di dalam hutan. Jangan ragukan bagaimana kami menjaganya,” kata ayah tiga orang anak ini.

 SAD Jambi tersebar di enam kabupaten, mulai dari Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo, Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Batanghari. Data dari Kementerian Sosial pada tahun 2019 mencatat jumlah populasi SAD lebih kurang 6.423 keluarga.

Muhamad Adip, Kepala Desa Hajran, mengatakan sedikitnya ada sebanyak 54 keluarga atau 140 masyarakat SAD yang berada di kawasan hutan Desa Hajran, Kecamatan Bathin, Batanghari. Sebagian dari mereka juga tersebar di hutan Desa Jeluti dan Ulak Besar.

Mayoritas masyarakat adat SAD di tiga wilayah desa itu memiliki kemampuan yang baik dalam aktivitas bercocok tanam dan berburu, yang diperoleh turun-temurun.

Setidaknya dua generasi dari SAD di Batanghari itu saat ini bisa mengelola karet, kelapa sawit dengan baik, dan juga berniaga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seiring makin luas lahan yang dibuka menjadi perkebunan sawit dan karet. Bahkan ada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Batanghari yang memercayakan SAD sebagai pekerja lepas mereka karena kemampuan mereka itu.

Hanya saja tantangannya tidak semua perusahaan perkebunan yang bisa mengakomodasi keahlian dari SAD — juga dikenal dengan Orang Rimbo ini. Kebiasaan hidup mereka yang berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan tak jarang bermukim di lahan kelapa sawit produktif menjadi alasan keengganan dari pihak perusahaan mengakomodir mereka.

Satu sisi ketika perusahaan "bermanuver" menolak kehadiran mereka, tapi di sisi lain justru membuat keyakinan SAD terhadap hak atas tanah dan hutan menjadi lebih kuat. Disusul bertambahnya pengetahuan hukum mereka setelah bertahun-tahun berinteraksi dengan dunia luar.

Di sinilah, menurut Adip, konflik antara SAD Batanghari dengan perusahaan dimulai bahkan meruncing dalam 2--3 tahun terakhir, hingga beberapa anggota kelompok SAD harus berhadapan dengan hukum karena diduga mencuri buah kelapa sawit milik perusahaan.

Pemerintah Desa Hajran senantiasa turun tangan mendampingi proses mediasi SAD atas dugaan pencurian tersebut dengan pihak perusahaan dan aparat kepolisian setempat supaya tak sampai dilakukan penahanan.

Adip mengingat, tak jarang mendapati warganya itu kembali dilaporkan beberapa saat setelah mediasi berhasil. Terbaru sekitar bulan Maret--April 2023, ada tiga orang SAD yang dilaporkan namun kali ini di luar wilayah Desa Hajran dan oleh perusahaan pemegang konsesi yang beda pula.

Proses mediasi terakhir itu diakui berlangsung cukup alot karena saat itu pihak terlapor diduga mencuri dan merusak tandan buah segar sawit siap panen milik perusahaan. Beruntung ketiga oknum SAD tersebut dapat lolos dari delik aduan dan dikembalikan ke kelompoknya dengan salah satu alasan menguatkan yakni mereka masih berusia remaja.

Kategori :