Pemberlakuan PPN 12 Persen pada Layanan Kesehatan VIP
PUSPITA WIJAYANTI--
Oleh : PUSPITA WIJAYANTI
MULAI 1 Januari 2025, pemerintah memberlakukan PPN 12 persen pada layanan kesehatan kelas VIP di rumah sakit. Kebijakan itu mungkin tampak seperti langkah wajar untuk menambah pendapatan negara. Namun, jika ditelaah lebih dalam, justru muncul pertanyaan mendasar: Apakah layanan kesehatan, terutama bagi pasien yang memilih naik kelas perawatan, pantas dikenai pajak yang makin membebani?
Permenkes 3/2024 sudah menetapkan bahwa pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan dan memilih naik kelas layanan VIP hanya membayar selisih tarif maksimal 75 persen dari tarif kelas 1. Dengan tambahan PPN 12 persen, timbul kebingungan, apakah pajak itu termasuk dalam selisih biaya yang harus dibayar pasien atau harus dibayarkan terpisah.
Kebijakan tersebut seakan mengabaikan dua persoalan utama yang selama ini belum selesai. Yaitu, tarif INA-CBG’s yang stagnan dan biaya operasional rumah sakit yang terus meningkat. Padahal, pasien BPJS Kesehatan yang naik kelas sering kali menjadi ’’penyelamat’’ neraca keuangan rumah sakit melalui pembayaran tambahan. Ironisnya, kebijakan PPN itu justru berpotensi merusak keseimbangan tersebut.
Realitas di lapangan menunjukkan, banyak rumah sakit, terutama di daerah, yang beroperasi dalam tekanan finansial akibat rendahnya tarif INA-CBG’s yang menjadi standar pembayaran BPJS Kesehatan. Tarif itu sering kali tidak mencerminkan biaya riil operasional, termasuk gaji tenaga kesehatan, obat-obatan, serta pemeliharaan fasilitas. Dengan demikian, margin keuntungan dari layanan BPJS Kesehatan sudah sangat tipis.
Ketika pasien naik kelas layanan VIP, biaya tambahan yang mereka bayar akan menutupi defisit biaya tersebut. Namun, kebijakan PPN 12 persen menempatkan rumah sakit dalam dilema. Jika pajak tersebut harus dipotong dari selisih tarif, ruang finansial makin sempit. Jika dibebankan terpisah kepada pasien, ada risiko penurunan minat untuk naik kelas perawatan. Dalam jangka panjang, pendapatan rumah sakit dan kualitas layanan kesehatan bisa menurun.
Kita tidak boleh lupa, kebanyakan rumah sakit di Indonesia bukanlah institusi yang berenang dalam profit berlebih. Bahkan, sebagian besar masih berjuang untuk bertahan, terutama di daerah terpencil.
Praktik Internasional
Di banyak negara maju, layanan kesehatan dianggap sebagai kebutuhan dasar, bukan objek fiskal. Di Singapura, layanan medis esensial tidak dikenai pajak. Pendekatan itu memastikan biaya layanan medis tetap terjangkau sehingga meningkatkan akses pasien terhadap layanan berkualitas. Hasilnya, efisiensi layanan kesehatan meningkat dan sistem tetap berkelanjutan. Pajak hanya dikenakan pada produk non-esensial atau tambahan yang bersifat opsional tanpa mengganggu pelayanan inti.
Di negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia, pendekatan pajak jauh lebih bijak. Pemerintah memberikan subsidi besar pada layanan kesehatan sehingga biaya perawatan medis bagi pasien sangat rendah. Contohnya, biaya konsultasi dokter di Swedia berkisar EUR 20–30, sedangkan pasien dengan penyakit kronis mendapatkan layanan gratis setelah mencapai batas biaya tertentu. Kualitas layanan tetap tinggi karena negara berinvestasi besar dalam infrastruktur kesehatan dan pendidikan tenaga medis.
Kesehatan Bukan Beban
Jika pemerintah bertujuan meningkatkan penerimaan pajak, menerapkan kebijakan PPN itu pada sektor kesehatan – yang menjadi hak dasar setiap warga negara – bukanlah langkah bijak. Pajak 12 persen untuk layanan VIP mungkin terlihat kecil dalam skala fiskal. Namun, implikasinya akan sangat besar. Bisa menambah beban pasien, mempersulit rumah sakit, dan memicu penurunan kualitas layanan.
Pemerintah seharusnya lebih berfokus pada reformasi sistem pembiayaan kesehatan. Misalnya, merevisi tarif INA-CBG’s agar mencerminkan biaya riil operasional rumah sakit. Perlu dilakukan penghitungan ulang berbasis data aktual atas biaya operasional rumah sakit, termasuk memperhatikan inflasi dan kenaikan harga teknologi medis. Atau, penyesuaian tarif untuk daerah terpencil yang memiliki tantangan logistik dan infrastruktur lebih tinggi. Selanjutnya, pemerintah patut melaksanakan evaluasi berkala untuk memastikan tarif tetap relevan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
Pemerintah juga harus melakukan eksklusi PPN untuk layanan kesehatan yang esensial, termasuk layanan VIP yang masih terkait dengan kesehatan pasien. Berikutnya, memberikan insentif fiskal untuk rumah sakit yang terbukti meningkatkan kualitas layanan kesehatan.