Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Setuju dengan Putusan Penghapusan Presidential Threshold

Mahkamah Konstitusi saat membacakan amar putusannya terkait Pilpres.--

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO– Dalam keputusan kontroversial yang menghapuskan ketentuan ambang batas minimal bagi pengusulan pasangan calon presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Pemilu, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Mereka adalah Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, yang berpendapat bahwa permohonan uji materi seharusnya ditolak karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum yang memadai.
Dalam sidang yang digelar Kamis (2/1), Ketua MK Suhartoyo menyampaikan bahwa meskipun mayoritas hakim mendukung penghapusan ketentuan presidential threshold, Anwar dan Daniel berargumen bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang dapat menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang mengatur tentang presidential threshold.

Mereka berpendapat bahwa mahasiswa yang mengajukan permohonan tersebut tidak memenuhi syarat untuk mengajukan uji materi atas undang-undang ini.

BACA JUGA:Tiket Capres Kini Murah Meriah, MK Cabut Presidential Threshold 20 Persen

BACA JUGA:MKD Tidak Bisa Mengganggu Hak Imunitas Anggota
Menurut Anwar dan Daniel, kedudukan hukum para pemohon haruslah terkait langsung dengan hak konstitusional yang dilanggar, yaitu hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dalam hal ini, hanya partai politik yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam proses pencalonan yang seharusnya memiliki legitimasi untuk mengajukan gugatan terhadap presidential threshold.

Ketidaksepakatan terhadap Arah Putusan
Lebih lanjut, kedua hakim ini menilai bahwa Mahkamah seharusnya tidak bertindak dalam kapasitas untuk menilai ulang kebijakan yang terkait dengan presidential threshold.

Mereka berpendapat bahwa hal tersebut seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

"Mahkamah tidak seharusnya membatalkan suatu ketentuan jika ketentuan tersebut masih berada dalam ruang lingkup kewenangan yang diberikan oleh pembentuk undang-undang," ungkap Anwar dan Daniel.
Keputusan Mahkamah yang menghapuskan ketentuan presidential threshold itu sendiri merupakan respons terhadap permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yang menggugat Pasal 222 UU Pemilu.

Para pemohon berargumen bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan hak politik konstitusional dan prinsip kedaulatan rakyat.

Pandangan Mayoritas Hakim: Menghapuskan Presidential Threshold
Sementara itu, mayoritas hakim MK dalam putusan mereka menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan bahwa ambang batas tersebut telah menghambat hak konstitusional rakyat, serta menyebabkan ketidakadilan yang tidak dapat diterima.

Saldi menjelaskan bahwa norma presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik rakyat, tetapi juga dengan prinsip moral dan rasionalitas dalam berpolitik.
Menurut Mahkamah, ketentuan ambang batas minimal tidak boleh lagi diterapkan dalam pencalonan pasangan calon presiden, karena hal tersebut menghambat hak partai politik yang ingin berpartisipasi dalam pemilu presiden, meskipun perolehan suara mereka tidak memenuhi persentase tertentu.

Mahkamah juga berpendapat bahwa pengaturan seperti ini telah mengarah pada ketidakadilan, terutama bagi partai politik baru yang tidak memiliki kursi di DPR.

Dissenting Opinion: Proses Perubahan Harus Diserahkan pada Pembentuk UU
Namun, Anwar Usman dan Daniel Yusmic menegaskan dalam dissenting opinion mereka bahwa keputusan Mahkamah ini bisa membuka ruang untuk ketidakpastian hukum.

Mereka berpendapat bahwa pembatalan presidential threshold harus diserahkan kepada pembentuk undang-undang, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan ambang batas atau kebijakan lain yang dianggap perlu untuk menjaga keseimbangan demokrasi.

Bagi keduanya, Mahkamah harus lebih berhati-hati dalam menilai ulang ketentuan yang berkaitan dengan hak politik yang bersifat kompleks.
Sebagai tambahan, Anwar dan Daniel mengingatkan bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak boleh terlalu jauh masuk ke dalam ranah kebijakan yang merupakan wewenang legislatif.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan