Oleh : Gamaliel Septian Airlanda*
INDONESIA merupakan negara berkembang yang terpapar arus globalisasi. Salah satu ciri arus globalisasi paling signifikan adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional. Kondisi ini semakin diperkuat dengan hadirnya teknologi yang kebanyakan komponennya dengan bahasa Inggris. Petunjuk cara kerja mesin, nama aplikasi pada perangkat lunak, istilah di media sosial hampir didominasi dengan istilah bahasa Inggris. Tidak heran, penguasaan bahasa asing ini menjadi salah satu indikator tidak kasat mata warga Indonesia. Banyak orang memandang dengan cas….cis….cus…. bahasa Inggris adalah orang pintar.
Anggapan subjektif ini seringkali muncul di lingkungan masyarakat hingga keluarga di rumah. Pada titik inilah Saya mencoba menggali dampaknya. Sebagai seorang peneliti pendidikan yang memegang Hak Kekayaan Intelektual tentang Pendekatan Home Science Process Skills (HSPS), rumah adalah bagian terpenting dari hidup manusia. Dampak globalisasi melalui bahasa bisa menjadi pendukung berkembangnya kebiasaan positif di rumah, namun dapat berlaku sebaliknya.
Diperlukan sebuah analisis yang berkaitan dengan gaya tutur bahasa di rumah. Pendekatan pembelajaran HSPS menggunakan kondisi bangunan, aktivitas, kebiasaan, situasi, nilai yang berlaku di rumah sebagai sumber belajar. Pendekatan ini memiliki lima tahapan yang dikenal dengan 5C (Cari, Catat, Coba, Cipta, Cerita). Sebagai bangsa komunal, rumah tidak hanya menjadi tempat tinggal semata, melainkan lingkungan belajar mula-mula.
Belajar tentang tutur bahasa di rumah, pada bulan Mei 2024, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa bahasa ibu di rumah adalah pondasi kokoh terbentuknya literasi dan keterampilan komunikasi. Pernyataan tersebut selaras dengan konsep HSPS yang mengembangkan rumah sebagai pusat sekaligus sumber belajar. Hasil belajar yang ditimbulkan lebih konsisten daripada di sekolah termasuk dalam konteks bahasa. Namun, perlu disadari bahwa situasi di rumah saat ini punya banyak intervensi.
Rumah-rumah di Indonesia telah menjadi tempat penyebaran berbagai bahasa, tidak hanya bahasa ibu saja. Penggunaan bahasa Inggris di rumah sudah cukup masif. Bahasa adalah cara manusia menata sebuah logika.
Pernyataan ini diperkuat dengan buku berjudul “Logika: konstruksi konsep, proposisi dan teori” yang ada di Perpustakaan Nasional Indonesia karya Drs. Gotridus Goris Seran, M.Si. Buku tersebut menyatakan bahwa logika merupakan aktivitas pikiran dalam memperoleh kebenaran yang akan digunakan sebagai penentu keputusan atau tindakan. Cara manusia menemukan kebenaran atau fakta adalah mengumpulkan informasi melalui komunikasi dengan bahasa.
Ketika seseorang menggunakan bahasa Inggris, maka tidak akan lepas dengan grammar (tata bahasa). Istilah ini lebih mudah dipahami dengan susunan kalimat yang benar dalam bahasa Inggris. Penggunaan grammar salah satunya ditentukan oleh kondisi waktu, yaitu: past (masa lalu), present (masa kini), dan future (masa depan). Dasar penggunaan ini jelas berbeda dengan Bahasa Indonesia.
Secara ilmiah para ahli bahasa akan dengan mudah menjelaskan hal ini. Tetapi, Saya merujuk pada pengalaman praktis sebagai penutur asli bahasa Indonesia yang mempelajari bahasa Inggris. Tahun 2021 Universitas Sanata Dharma melalui Guru Besar Linguistik Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum menjelaskan bahwa bahasa adalah kemampuan seseorang mengungkapkan gagasan. Pernyataan ini kembali menekankan bahwa bahasa adalah salah satu cara menganalisis logika.
Tingkat Rasa Ingin Tahu
Terdapat logika unik yang Saya dapatkan ketika mempelajari bahasa Inggris. Saat menggunakan used to pada past simple tense (tata bahasa untuk menjelaskan kejadian yang sudah berlalu), maka pengguna bahasa Inggris dengan jelas mengatakan sesuatu yang telah terjadi dan selesai di masa lalu.
Di sisi lain, tata bahasa ini juga berfungsi memberi informasi urutan kejadian atau kejadian yang berulang namun telah selesai di masa lalu. Uniknya, penggunaan used to tidak meminta alasan “mengapa hal itu terjadi”. Contohnya: She used to sing in the bathroom yang artinya Dia tidak menyanyi lagi di kamar mandi.
Dalam konteks bahasa Indonesia yang diucapkan sehari-hari di rumah, informasi tersebut menjadi kalimat yang berita yang kurang lengkap sehingga pasangan bicara pasti melanjutkan dengan pertanyaan: “Mengapa”. Percakapan dengan penutur bahasa Indonesia akan terus mengejar alasan “Mengapa dia tidak lagi menyanyi di kamar mandi?”. Setelah mendapatkan alasannya, maka kalimat berita yang disampaikan baru dianggap lengkap dan jelas.
Rasa ingin tahu yang tercermin dari penggunaan bahasa ternyata telah berakar kuat menjadi budaya logika berpikir masyarakat Indonesia. Seharusnya, tidaklah sulit bagi kita untuk mengembangkan rasa ingin tahu positif yang mengarah pada cara belajar konstruktif.
Pandangan ini sekaligus memberi peluang bahwa pendidikan di rumah melalui pola penggunaan bahasa adalah cara membangun rasa ingin tahu yang tinggi. Prinsip ini sesuai dengan tahapan pertama home science process skills, yaitu cari atau searching. Jika gaya bahasa ini diarahkan dengan baik, maka kualitas komunikasi untuk pendidikan Indonesia dapat meningkat.